Demokrasi adalah konsep yang sangat tua yakni Abad ke-6 sebelum Masehi sampai dengan pertengahan abad ke 4 sebelum Masehi dan di praktekkan di polis-polis (Negara kota) di Athena dan sekitarnya. “People” dalam konteks Yunani Kuno adalah warga Negara laki-laki.
Demokrasi yang dikenal sekarang adalah perpaduan dari dua konsep yang sama sekali berbeda. Pertama, konsep demokrasi (demos dan cratein) yang memang berakar dari tradisi Yunani Kuno dan Kedua, konsep representasi yang berakar dari sistem feodal. Kedua hal ini menghasilkan apa yang disebut dengan Representative Democracy atau demokrasi perwakilan. Dalam perkembangan selanjutnya, lembaga ini berkembang menjadi salah satu kamar dalam parlemen negara-negara, seperti kelihatan nyata-nyata dalam parlemen tertua di dunia, yakni House of Commons dalam Parlemen Inggris.

Agenda pembangunan demokrasi di banyak negara Dunia Ketiga saat ini tidak bisa dilepaskan dari proyek globalisasi ekonomi yang dimotori oleh negara-negara maju (Barat), yang secara aktual semakin mempolarisasi dunia ke dalam ruang-ruang ketidakadilan dan ke-tidaksetara-an (global spaces of injustice and inequality). Berbagai rezim pemerintahan di Dunia Ketiga menyepakati kepentingan untuk memfasilitasi tumbuhnya institusi dan praktek demokrasi yang memungkinkan ruang yang lebih luas bagi intervensi negara-negara Dunia Pertama sebagai pemberi donor dari proyek pembangunan di negara-negara Dunia Ketiga itu. Secara khusus, intervensi ini mewakili kepentingan ekonomi untuk mengorientasikan negara-negara Dunia Ketiga berintegrasi ke dalam sistem pasar global meskipun kondisi yang memungkinkan bagi proses integrasi itu tidak setara. Menurut Noam Chomsky (1996), kondisi ketidaksetaraan dalam globalisasi ini merupakan suatu agenda imperialisme mutakhir yang secara ironis difasilitasi oleh kanal-kanal (saluran) demokrasi dimana rezim pemerintahan terpilih sebagai representasi dari konsituennya. Jadi dapat dikatakan, efek politik representasi sangat memungkinkan membuka peluang bagi praktik-praktik demokrasi yang distorsif.

Demokrasi kerap disamakan dengan pemilu. Indonesia yang dianggap sebagai penyelenggara demokrasi “tersukses” sejak pemilu 2004. namun bersamaan dengan predikat tersebut jumlah penduduk miskin di Indonesia meningkat, ketidakpedulian pemerintah terhadap warga negara semakin nyata. Dan negara seolah tak peduli dengan warganya. Pemerintah lebih sibuk menjamu para investor/ pemodal, menyediakan hidangan undang-undang, regulasi dan semacamnya daripada memenuhi hak konstituennya. Benarkah demokrasi hanya melahirkan kesengsaraan bagi masyarakat ?, hanya sebagai alat eksploitasi rakyat dan sumber daya alam.
Fenomena-fenomana yang terjadi semakin meneguhkan pandangan banyak kalangan bahwa Power tends to corrupt. Demokrasi perwakilan tidak mungkin dilaksanakan tanpa distorsi. Ketika para wakil rakyat sudah duduk di parlemen, maka mereka memiliki kepentingan yang relatif berbeda dari kepentingan yang diwakilinya. Seringkali, mereka berpendapat bahwa mereka lebih mengetahui apa yang terbaik untuk para pemilihnya. Hal ini akan mendistorsikan aspirasi. Ada beberapa alternatif yang dapat dijadikan wacana selain demokrasi perwakilan. upaya untuk meminimalisir distorsi aspirasi yaitu inisiasi warga, referendum dan recall. Alternatif lain yang harus dilakukan untuk mengkompensasi distorsi aspirasi dalam Demorasi Perwakilan adalah lembaga Promulgasi. Kira-kira, promulgasi itu sama dengan ketika para pengawal raja pada zaman kolonial pergi ke tengah pasar, membunyikan terompet dan membuka gulungan kertas serta mengumumkan titah raja kepada khayalak ramai. Alternatif lain adalah anarkisme.
Berlainan dengan anggapan umum bahwa anarkisme adalah keadaan kacau balau, a-narchos berarti tanpa penguasa. Dalam filosofi anarkisme, istilah ini dipergunakan secara positif untuk menggambarkan masyarakat tanpa penguasa dan tanpa hukum yang segala sesuatunya diusahakan bersama secara sukarela.

Selain alternatif-alternatif di atas. yang membutuhkan perjuangan panjang untuk mewujudkannya. Kita dapat belajar banyak dari Eksiklopedia raksasa, Wikipedia. Wikipedia yang diciptakan oleh Jimmy Wales dan Larry Sanger pada tahun 2001 tumbuh dengan pesat. Kisah sukses Wikipedia merupakan contoh nyata dari apa yang disebut sebagai "collective wisdom from the crowd". Dimana, setiap orang dapat menyumbangkan artikel baru, artikel yang ada di Wikipedia dapat disunting dengan mudah. Artinya setiap orang dapat memberikan informasi yang benar atau salah. Namun nyatanya kredibilitas wikipedia tetap terjaga. Apa yang khas dari model sunting dan edit artikel di Wikipedia

Ada beberapa karakteristik yang dimiliki oleh Wikipedia yaitu, pertama, adanya keragaman pendapat. Kedua,adanya kebebasan berpendapat, namun pendapat seseorang tidak ditentukan oleh pendapat orang-orang disekitar mereka.Tidak seperti kepanikan investor di pasar modal, atau ikutan yel-yel dalam kampanye politik atau demonstrasi. Ketiga, adanya Desentralisasi. Masing-masing orang mampu mengemukakan pendapat berdasarkan local knowledgenya.Ada hak otonom yang dimiliki oleh setiap individu untuk menentukan pendapat, sikap, ekspresi tanpa ada dominasi ataupun anjuran yang sifatnya mengikat dari atasan/pusat, yang mirip-mirip dengan doktrin, surat perintah dan semacamnya. Ciri yang terakhir adalah adanya metode yang baik untuk mengumpulkan pendapat masing-masing orang dan diolah menjadi sebuah KEPUTUSAN KOLEKTIF.

Andaikan Keempat dari karakteristik yang dikemukakan dapat terinternalisasi dalam gerak perilaku partai politik, lembaga pendidikan atau lembaga-lembaga publik lainnya maka mungkin fatwa Golput MUI tidak perlu terjadi.mode-mode pengambilan kebijakan yang vertikal (berdasarkan lembaga tertinggi an-sich) bukan berdasarkan kemampuan intelektual sudah saatnya ditinggalkan dengan model-model horizontal yang melibatkan sebanyak mungkin orang. Utamanya hal-hal yang berkaitan dengan layanan publik. Sekiranya pengandaian ini masih tetap menjadi pengandaian maka adakah harapan untuk menyerahkan nasib kita pada orang yang bakal "mewakili" kepentingan kita.yang nantinya membuat aturan seenaknya tanpa harus bermusyawarah, berdiskusi dengan yang mereka wakili. sungguh benar-benar bukan wakil :-D

alamyin@yahoo.com / +0+
(alumni Advanced Training angkatan II)




[Read more]

Posted in

Tulisan ini sepenuhnya subjektif karena hanya ditulis berdasarkan hasil pembacaan atas laporan infestigasi (studi lapang) teman-teman peserta advanced training bem unm 2008.
Lokasi infestigasi peserta edvanced di fokuskan pada 4 titiik yaitu pasar tradisional pa'baengbaeng, mal ratu indah, smk pgri ba'la boddong, dan smu kartika candra kirana (untuk lokasi yang terakhir tidak ada hasil, ini disebabkan kemungkinan besar karena faktor kemalasan mereka yang mendapat lokasi di smu kacak).

Mall dan Pasar Tradisional

Dari hasil investigasi teman-teman dipasar tradisional pa'baengbaeng, teman-teman melihat fakta bahwa kondisi pasar tradisional itu memang kotor, jorok, semberaut, dan tidak adanya jaminan keamanan yang jelas. Siapapun tidak akan memungkiri fakta tersebut hanya saja seharusnya muncul sebuah pertanyaan, kenapa kondisi pasar tradisional bisa seperti itu ? Dan jawabannya yang pasti adalah karena tidak adanya rasa memiliki pasar tersebut, baik oleh pedagang maupun pembeli. Hal tersebut wajar sebab mereka tidak memiliki kontrol terhadap pasar tersebut dengan kata lain mereka (para pedagang dan pembeli) tidak memiliki hak pengelolaan pasar tersebut. Pasar dikelola oleh pemerintah beserta aparatus dan kaki tangannya dan para pedangan dan pembeli hanya dipersilahkan menggunakan apa yang mereka hasilkan dari sistem kontrol mereka dengan syarat adanya pajak yang harus mereka bayar sebagai konpensasi atas apa yang mereka berikan. Dengan kondisi dimana pemerintah (beserta aparatus serta kaki tangannya) yang mengambil alih pengelolaan pasar maka secara otomatis kontrol dan kepemilikan tidak berada ditangan para pedagang dan pembeli (sebagai pihak yang terlibat langsung dalam aktifitas pasar). Akibat tidak adanya kontrol dan kepemilikan oleh para pedangan dan pembeli maka wajar saja ketika mereka tidak pernah peduli dengan kondisi pasar (kerap mereka berkata, kita kan sudah membayar pajak maka pemerintahlah yang harus mengurus pasar).
Kondisi pasar yang tidak menyenagkan inilah yang dilihat oleh para pengusaha besar, terbersitlah keinginan membuat suatu tempat yang mirip pasar namun segala hal negatif yang ada dipasar ditiadakan. Dibuatlah mall-mall dimana aktifitas jual beli yang dahulu hanya dimungkinkan dipasar kini dihadirkan disebuah tempat yang bersih, sejuk, aman dan sangat menyenangkan (tapi, semua itu harus dibayar mahal). Mungkin kita akan bertanya dimana peran pemerintah dalam melindungi pasar serta pedagang dan pembeli dari kalangan rakyat kecil ? Jawabannya, tidak ada, yang ada hanyalah peran pemerintah dalam melindungi pengusaha-pengusaha besar beserta aset-asetnya. Bagi orang yang masih memiliki akal sehat tentu ini merupakan penyimpangan, betul ini sebuah penyimpangan namun kita semua tentu tahu bahwa pemerintah membutuhkan dana yang sangat besar untuk menjalankan sistem pemerintahannya dan rakyat kecil (yang sering kepasar tradisional) secara personal tidak mampu memberikan suply dana kepada pemerintah untuk menjalankan sistemnya, yang bisa melakukan itu hanyalah pengusaha maka wajar jika pemerintah tidak peduli pada rakyat kecil dan hanya melindungi pengusaha beserta aset-asetnya (ini belum berbicara seputar mekanisme dan biaya yang diperlukan seorang politikus untuk menjadi pemerintah). Dengan demikian maka mall-mall akan tumbuh subur seiring menguatnya sistem pemerintahan yang ada saat ini dan pasar-pasar tradisional perlahan akan musnah (dikota-kota besar yang lain hal ini telah terbukti dan di kota kita ini hal yang sama akan segera tercipta, cepat atau lambat).

Pendidikan dan Kekuatan Kaum Pekerja

Pada wilayah pendidikan, berdasarkan hasil infistigasi teman-teman peserta advanced training terlihat dengan jelas relasi antara lemahnya posisi buruh dan kondisi pendidikan kita.
Teman-teman yang melakukan infestigasi di smu pgri ba'la boddong melihat realitas pendidikan yang tidak memiliki arti sama sekali selain formalitas. Dilapangan terlihat bahwa akibat tidak adanya bantuan dana yang cukup maka pendidikan yang (mau tidak mau) membutuhkan fasilitas guna mencapai standar mutu (yang ditetapkan oleh pemerintah) tidak mampu bekerja. Ini adalah sebuah paradoks, disatu sisi pemerintah membuat standarisasi mutu namun disisi lain pemerintah tidak memberikan biaya yang cukup untuk kelengkapan fasilitas yang dibutuhkan guna mencapai standar mutu yang ditetapkan pemerintah. Jika kita menggunakan akal sehat maka tentu kita akan membenarkan alasan bahwa pemerintah tidak mampu membiaya seluruh pendidikan. Alasan ini sangat rasional karena banyaknya sekolah-sekolah yang tersebar dimana-mana karena itulah pemerintah mengambil langkah mengotonomikan sekolah pada wilayah pembiayaan (sekolah sendiri yang mecari dana, adapun masalah apa yang harus diajarkan/kurikulum tetap berada dalam kontrol sebab biar bagaimanapun pendidikan merupakan salah satu alat ideologisasi pemerintah atas masyarakat). Akibat dari semua itu maka lahirkanlah sekolah-sekolah yang hanya memproduksi manusia-manusia tanpa kemampuan bertahan hidup. Sekolah-sekolah memproduksi manusia-manusia yang hampir tidak lagi mempunyai apa-apa untuk bertahan hidup selain tenaga fisik dan tubuhnya (tidak jauh berbeda dengan robot-robot, mungkin inilah yang membuat banyak orang yang menganggap sekolah sebagai pabrik-pabrik penghasil robot-robot pekerja). Karena tidak ada lagi yang dapat dipakai untuk bertahaan hidup maka tidak ada pilihan lain bagi lulusan-lulusan sekolah selain menjual tenaganya. Kondisi ini bertambah kacau dengan banyaknya manusia-manusia robot yang diproduksi setiap tahunnya sehingga terjadi over produksi pekerja, inilah yang kemudian membuat nilai seorang pekerja sangat murah. Berdasarkan hasil wawancara dengan salah seorang pekerja di mall teman-teman menemukan sebuah alasan mengapa mereka mau bekerja dalam kondisi yang sangat memprihatinkan, alasan pekerja tersebut “mau apa lagi, mau makan apa kalau tidak kerja”. Jika benar itu alasan mereka maka sesungguhnya para pekerja itu tidak jauh berbeda dengan para pengemis “mau apalagi, dari pada tidak makan”.


Jika ditinjau dari sisi lain, kondisi pendidikan yang kalau balau itu tentu tidak terjadi begitu saja. Sama dengan mekanisme kacaunya pasar tradisional, kacaunya pendidikan pun diakibatkan adanya campurtangan pemerintah dan pengusaha dalam pendidikan. Sebagaimana dirampasnya pengolaan pasar oleh pemerintah maka pendidikanpun dirampas oleh pemerintah dengan alasan yang sama yaitu untuk mengelolanya lebih baik agar memiliki hasil yang lebih bermanfaat bagi seluruh rakyat. Ini adalah omong kosong besar sebab pengelolaan pendidikan oleh pemerintah hanya membuat kacau pendidikan. Kekacauan yang diakibatkan oleh perampasan pengelolaan sekolah oleh pemerintah dari masyarakat terjadi pada segala aspek pendidikan, dua diantaranya yaitu kurikulum yang berujung pada orientasi dan pembiayaan yang berujung pada pengelolaan. Sebelum pemerintah merampas pengelolaan pendidikan, pendidikan berorientasi pada kebutuhan sehingga kurikulum menjadi sesuatu yang hampir tidak dibutuhkan karena proses pendidikan dinamis. Setelah pemerintah merampas pengolaan sekolah maka orientasi pendidikan menjadi menghasilkan tenaga kerja yang mampu terserap dalam dunia kerja (dalam istilah pemerintah dan penguasaha – link and match antara dunia pendidikan dengan dunia industri) atau dengan kata lain orientasi pendidikan menjadi memproduksi tenaga-tenaga kerja. Hal ini wajar sebab (lagi-lagi) yang paling banyak memberikan suply dana kepada pemerintah adalah penguasaha karena itu pemerintah harus melakukan sesuatu yang menguntungkan penguasaha bukan sebaliknya. Pada aspek pengeloaan, akibat pengambil alihan oleh pemerintah maka masyarakat mejadi tidak peduli dengan pengelolaan pendidikan yang mereka tahu hanyalah bahwa mereka telah membayar maka mereka tidak perlu lagi repot-repot memikirkan pengelolaan pendidikan, “bukankah saya sudah bayar !!!” disinilah pengusaha masuk mengambil peran dalam pengelolaan pendidikan sambil melenggang menggiring orientasi pendidikan pada penyediaan stok pekerja yang banyak.

Apa yang ditemukan teman-teman dilapangan dan semua hal diatas sebenarnya bukan lagi sesuatu yang baru namun hal-hal diatas selalu dilupakan begitu saja, seolah-olah tidak berarti bagi kehidupan. Karena itulah mengingatkan adalah sesuatu yang perlu dengan harapan suatu saat akan muncul keinginan untuk melakukan sebuah pemberontakan terhadap tatanan sosial yang timpang ini.
tulisan by elegindo (salah seorang SC).


[Read more]

Posted in

Materi dan Pemateri Advanced Training Nasional 2008

1.Pendidikan dalam teori dan praktik. ; Selasa, 27 Mei 2008 jam:08.00-12.00 wita
pembicara:
Prof. Dr. Arismunandar, M.Pd
Ahmad Badruddin (Pendiri SA Qoryah Tayyibah Salatiga)

2.Studi kritis demokrasi. Selasa, 27 Mei 2008; jam: 20.00-23.30 wita
Pembicara:
Mappinawang S.H
Pamuji Slamet

3.Geopolitik dunia dan krisis imperialisme; Rabu, 28 Mei 2008; jam: 08.00-12.00 wita
Pemateri: Irfan Basri

4. Mall dan penghancuran pasar tradisional; Rabu, 28 Mei 2008; jam: 20.00-23.30 wita
Pembicara:

5. Studi ekonomi alternatif: membincang ekonomi kerakyatan dan perspektif ekonomi subsisten; Kamis, 29 mei 2008; jam: 08.00-12.00 wita
Pembicara:
Prof. Dr.H.M Idris Arief, M.S
Syamsul (AGRA)

6. Realitas masyarakat postkolonial dan upaya dekolonisasi kebudayaan; Kamis, 29 mei 2008; jam: 20.00-23.30
Pembicara:
Alwi Rahman
Muh. Kasman

7. Cyberculture dan masa depan gerakan sosial; Jum’at 30 mei 2008; jam: 08.00-12.00

8. BHP (Badan Hukum Pendidikan): rancang bangun strategi, FGD oleh semua peserta aktif

penjelasan tambahan: 1 makalah grand thema dan 5 draf/makalah/ materi (penjelasan tentang draft makalah baca syarat dan perlengkapan peserta).




[Read more]

Posted in

Terminologi poskolonial dipahami sebagai sikap dan gerakan resisten terhadap otoritarianisme kolonialisme militer, politik dan rejim-rejim wacana yang terus menerus dibangun oleh penguasa kolonial. Pemaknaan ini memperlihatkan pengaruh kuat teori (linguistik) post-strukturalisme yang kemudian dielaborasi lebih jauh oleh tiga tokoh kritik poskolonial berpengaruh, yaitu Edward Said, Gayatri Spivak, dan Homi Bhabha. Studi (pendekatan) poskolonial yang diaplikasikan di sini bukan dimaksudkan sebagai studi mengenai bekas-bekas wilayah koloni (ex-colonies), konsep poskolonial maupun penggunaannya difokuskan pada “analisa dan pengujian terhadap cara-cara (trik-trik) manipulatif dalam proses budaya yang menentukan karakteristik suatu politik. Studi poskolonial menempatkan agendanya pada wacana representasi pengungkapan tentang bagaimana peradaban Dunia Ketiga diproduksi (dihasilkan) melalui pengalaman kolonial. Pendekatan poskolonial juga men-tidakstabil-kan wacana mengenai relasi “the West and the Rest” (dunia maju-Barat dan dunia lain-yang tertinggal) yang selama ini diasumsikan melalui kategori biner (contohnya: developed-less developed; civilised-uncivilised; dan lain-lain)

Negara Dunia Ketiga sebagai kesatuan poskolonial memiliki luka atau trauma penjajahan yang terus ikut serta dalam setiap proses pembentukan jati diri kebangsaan. Menurut Leela Gandhi, negara-bangsa poskolonial cenderung berusaha lepas dari luka tersebut dengan mengupayakan sebentuk diskontinuitas terhadap masa lalu yang menyakitkan itu. Hal ini menyuburkan tumbuhnya amnesia sejarah yang menjadikan masyarakat tercerabut dan tidak pernah bisa kembali pada identitasnya semula, yakni identitas sebelum mengalami penjajahan. Sedemikian besar pengaruh penjajahan, sehingga mempengaruhi pola pikir, pola penghayatan hidup serta pola perilaku masyarakat poskolonial. Negara-bangsa yang terbentuk pun seolah mengalami krisis identitas atau krisis percaya diri, tidak memiliki pegangan yang jelas sehingga mudah digoyahkan dan diombang-ambingkan oleh relasi ketergantungan.

Ketergantungan sebagai konsekuensi logis dari efek lanjutan kolonialisme ini kita temui di dalam globalisasi. Globalisasi juga melahirkan formasi identitas politik yang karakteristiknya dapat kita kenali melalui praktek dan struktur “dominasi serta resistensi”.

Arturo Escobar menggambarkan bahwasanya identitas Dunia Ketiga dibangun dibawah bayang-bayang hegemoni Dunia Pertama. Khususnya ketika masyarakat di Dunia Ketiga memproyeksikan peradaban mereka melalui pencapaian-pencapaian material. Ia melanjutkan kritik-nya dengan melihat isu “kemiskinan” sebagai proyek utama di dalam agenda pembangunan di Dunia Ketiga yang indikatornya memperoleh kategori pembeda dari pencapaian material Dunia Pertama, dimana intervensi yang dilakukan oleh Dunia Pertama (misalnya oleh Bank Dunia―World Bank) mengabaikan aspek-aspek perkembangan kultural yang berlangsung di Dunia Ketiga. Dalam konteks tersebut, bukan hanya “negara” yang ditransformasikan ke dalam obyek pembangunan oleh kekuatan representasi wacana pembangunan, melainkan juga orang―manusia―nya. Meski demikian, pendekatan poskolonial tidak hanya semata-mata menilai efek negatif yang dilahirkan oleh modernitas global, tetapi juga melihat kemungkinan-kemungkinan baru bagi masyarakat di Dunia Ketiga untuk menegosiasikan posisi resistensi mereka di dalam struktur modernitas itu sendiri. Upaya pencarian semacam ini, misalnya, dipelopori oleh Vandana Shiva yang menggagas penemuan kembali nilai-nilai lokal yang menandangi efek negatif dari proyek modernitas Barat.


Meskipun upaya yang dirintis oleh Vandana Shiva pada awalnya hanya merupakan gerakan yang bersifat lokal, akan tetapi globalisasi yang memungkinkan suatu gerakan ditransformasikan melalui diseminasi wacana dan difasilitasi oleh teknologi telah membuat gerakan alternatif semacam itu kini mulai melintasi batas-batas nasional (transnasional). Dari sini ungkapan Michael Keith dan Steve Pile (1993), menjadi relevan, ia menyarankan tiga lokasi bagi batasan-batasan dalam “politik identitas baru (postmodern)”, yakni: (1) lokasi bagi perjuangan (location of struggle); (2) komunitas resistensi (communities of resistance); dan (3) ruang-gerak politik (political spaces). Lokasi bagi perjuangan (location of struggle) merupakan suatu ruang dimana individu memasuki politik. Ruang ini dapat bersifat riil (real space), imajiner (imaginary space), atau simbolik (symbolic space). Komunitas resistensi memerlukan suatu landasan (baik yang bersifat riil, imajiner, ataupun simbolik) yang memungkinkan tumbuhnya formasi aliansi politik dan pemberdayaan aliansi dalam kelompok-kelompok marginal. Oleh karena itu komunitas resistensi memperjuangkan ruang gerak bagi politik identitas sebagai upaya penciptaan alternatif-alternatif kemungkinan-kemungkinan politis (the alternatives of political possibilities).

Lewat materi ini peserta diharapkan dapat merumuskan inisiasi gerak dalam ranah kebudayaan baik secara personal maupun kolektif. Semoga

[Read more]

Posted in Label:

Kota sebagai penanda peradaban dimulai dari jalur perdagangan yang disinggahi oleh saudagar dari berbagai negeri, metropolitan Indonesia saat ini berawal dari sana menjelma menjadi sosok raksasa yang menakutkan. Alun-alun kota sebagai penanda kota yang berfungsi sebagai mediasi perkembagan demokrasi, tapi itu dulu.Ketika era mal muncul di era 90-an di kota-kota besar Indonesia, kegairahan massa beralih ke mall dan memalingkan alun-alun sebagai fungsi public yang menyangga demokrasi yang sehat karena berfungsi sebagai public share. Mal tidak sekedar sejumlah petakan-petakan outlet jual beli yang dipersewakan tetapi sekaligus menawarkan sihir yang luar biasa, citra mal sebagai pusat belanja yang tren tidaklah jatuh dari langit.

Sebelum era mal, kita mengenal pusat perbelanjaan yang berskala menengah atau pusat pertokoaan tapi sebagian besar aktivitas ekonomi belum merebak menjadi sihir consumtifisme. Mal menawarkan berbagai kemudahan yang dapat dinikmati oleh konsumen dimana tersedia berbagai kebutuhan dalam satu bangunan mewah mentrend, mulai dari urusan perut, cuci mata hingga urusan perawatan tubuhuh bahkan menyediakan area permainan anak/keluarga, singkatnya segala urusan hidup anda semuanya ada disana. Orang-orang yang datang di mal bukanlah kelas sandal jepit yang terbelit kesusahan hidup, meskipun ada hanya datang menyiksa hasrat atau sebagai karyawan.

Masyarakat pun menganggap mal sebagai simbol kemoderenan dan kamajuan kota yang akan mempermudah hidupnya dan dapat membanggakanya sebagai warga kota. Dalam poling harian Fajar beberapa bulan lalu mengenai pembangunan mal bawa tanah karebosi, dimana sebagian besar komentar masyarakat mendukung dengan alasan dangkal, mereka menganggap mal bawah tanah sebagai ikon kota seperti Blok M Jakarta, kesesatan berpikir masyarakat semakin sempurna. Meski mal telah memberi kemudahan berbelanja dan pendapata pada kas Negara tetapi menghancurkan prekonomian pasar-pasar tradisional dimana prekonomian dikuasai oleh segelintir orang bahkan dapat berimplikasi pada hancurnya ekonomi subsistem yang dikelola mandiri oleh rakyat

Ada beberapa mal dan pusat perbelanjaan besar atau ritel yang menghacurkan pasar-pasar tradisional di negeri ini, berbondong-bondongnya konsumen menyerbu mal menyebabkan berkurangnya pelanggan pasar tradisional yang memiliki sejarah panjang. Kemudahan berbelanja dan ditunjang fasilitas yang nyaman membuat para konsumen ke mal atau pasar ritel, perbandingan antara mal dan pasar tradisional secara pisik memang lebih ‘kren’ mal tapi ada sesuatu yang hilang dalam transaksi mal. Konsumen hanya sekumpulan manusia diam yang hanya bisa bertatap-tatapan tanpa ada komat-kamit, meskipun berbicara hanya sekedar basa-basi atau bertanya letak barang, seni tawar-menawar hilang digantikan tempelen harga, konsumen bukanlah keluarga besar bagi para penjual tapi sekumpulan capital yang penghasil laba, bahkan hak konsumen terkadang diabaikan


Antonio Gramschi mengigatkan, hegemoni berjalan sukses ketika kelas tertindas terobsesi dengan ideology kelas berkuasa, begitulah kiranya pandangan masyarakat yang menganggap mal sebagai penanda kemajuan dan modernitas kota metro, sekali lagi dan sekali lagi mal tak ada urusanya dengan kemajuan taraf peradaban karena disanalah kita temukan manusia modern paling nyata. Modernitas tak ada sangkut pautnya dengan kehausan berbelanja, justru modernitas menempatkan akal untuk berpikir sehat. Mitos kemajuan ini digunakan alat untuk meraup keuntungan besar yang berujung hancurnya pasar-pasar tradisional, di pasar bukan sekedar mencari untung juga lahir kebersamaan dan kebudayaan sebuah masyarakat. Tahukah anda berapa karyawan pasar tradisional yang terpaksa di PHK karena sepinya pengunjung?. Saat ini ada ratusan ribu orang menggantungkan hidup mereka disana, masihkah anada senang berbelanja di mal???

[Read more]

Posted in Label:

Sejarah kini dan akan datang adalah sejarah perjuangan kelas, frase yang sering disebutkan Marx dalam tulisanya, sebuah ungkapan yang menggambarkan kehidupan manusia dikuasai segelintir orang serakah menaklukan milyaran manusia yang dilanda histeria. Dunia hadir tak seindah gambaran Tuhan bahwa manusia sama di hadapan Tuhan, dunia diperhadapkan pada pertarungan kelas yang melahirkan kontradiksi-kontradiksi yang semakin meruncing, contohnya resisi US dan sekutunya kian memuncak dan imperialisme akan menggali kuburnya.

Mulanya berasal dari gilda-gilda atau kongsi dagang yang terbatas melintasi perdagangan di sentaro negeri, perebutan pasar-pasar dan pusat perdagangan hingga perebutan rempa-rempa di dunia Timur. Disinilah babak baru embrio kapitaliseme hingga meluas dalam bentuk kolonialisasi Asia, Afrika dan Amerika paska penemuan Kolumbus. Kolonialisme awalnya tidak dilihat sebagai sebuah tindakan kebiadaban dan pelanggaran terhadap hak asai manusia, oleh masyarakat Eropa dianggapnya sebagai aksi pemanusian bangsa Barat yang memiliki derajat tinggi dimata Tuhan atas dunia Timur yang mistis, emosional, unik, eskotis, terbelakang dan bahkan mensejajarkanya dengan fauna seperti bangsa Aborigin. Bahkan masih dinggap founa pada era 60-an, semua streotipe itu dibangun lewat pengetahuan dan kebudayaan untuk mempertajam dominasi ekonomi dan kedaulatan negeri-negeri jajahan (Edward Said, Orientalisme:1970)

Dunia kini telah terbagi dalam dua bagian yang tidak hanya dipisahkan secara geografis tapi ideologis seperti Timur-Bara, Utara-Selatan dalam perspektif ekonomi. Amerika dan sekutu dekatnya yang sebagian besar Negara dunia maju memimpin dominasi Negara berkembang, pasar ekonomi pun dibagi mirip pembagian kolonialisme masa lalu. Timur tengah objek seksi untuk disandra--dalam bahasa Riza Sihabudi—oleh para imperialis untuk mempertahankan ladang minyak, karena dari sini nadi imperialisme untuk melanjutkan dominasi dalam satu sisitem besar bernama KPITALISME, tanpa minyak imperialis menemukan ajalnya.

Lembaga-lembaga keuangan international dan korporasi TNCs adalah penyokong imperialisme yang lahir dari rahim sah kapitalisme yang terus berkeliaran mencari pasar-pasar taklukan baru karena di Negara imperialis maju telah terjadi over produksi sehingga mengharuskanya melakukan ekspor capital kenegara-negara berkembang. Ekspor capital dapat beruwujud investasi, bantuan keuangan alias utang, hibah dan mendanai berbagai proyek-proyek liberalisasi dan berbagai isu-isu yang dapat mencegah penentagan tajam terhadap system keserkahan global lewat tangan-tangan LSM

Tapi jangan dikira imperlisme akan selalu solid tanpa kendala, krisis internal telah muncul kepermukaan, watak asli imperialisme terlah terbuka. Penyerangan Afganistan dan Irak sebagai bukti Amerika dan sekutu terdekatnya melakukan agresi kebiadabanya menaklukan Negara berdaulat yang bertentangan dengan prinsip HAM yang sering dielukkan, kini imperialisme telah memperlihatkan kebiadabanya secara terbuka mirip nenek moyang merekapa pada abad ke-17. Invasi ini bukanlah memburu teroris atau senjata kimia tapi sejatinya memburu minyak/MIGAS di kedua Negara itu yang menyimpan jutaan barel, buktinya invasi tersebut didukung oleh enam korporasi besar yang tentu saja mereka akan menerima berbagai proyek rekonstruksi pasca perang dan eksplorasi cadangan minyak AS kedepan, ketika Negara dunia maju berbicara tentang HAM, pluralisme dan demokrasi maka itu adalah memburu MIGAS. Beberapa Negara imprealis lainya juga menentang invasi tersebut tentu bukan alasan kemanusian tetapi tidak lebih upaya perebutan ladang-ladang minyak karena pada pemerintahan Saddam Prancis dan beberapa Negara telah menjalin kerjasama dengan rezim Saddam.


Disisi lain yang menggembirakan munculnya kekuatan alternatif dunia yang tak dapat disepelekan membuat Amerika kerepotan, apalagi menguatnya poros setan dalam tuduhan Amerika seperti Iran, Korut dan Kuba cukup membuat berang Negara-negara US dan sekutu Eropanya. melakukan agresi tentu bukan perkara gampang karena disamping membutuhkan dana juga persoalan Afgan dan Irak kian tak memiliki ujung penyelesaian justru kekacauan kian meluas dan penentangan pendudukan kian menguat baik di luar maupun dalam negeri US dan Negara yang mendukungnya. Menguatnya dominasi Cina di pentas politik ekonomia dunia membuat repot berbagai Negara yang selama ini menikmati pasar tanpa saingan, disisi lain juga Cina tak dapat diremehkan dari sisi militer yang hampir mengimbangi kekuatan US. India pula tampil memukau dengan kemajuan ekonominya dan disusul Negara sosialis Vietnam menjadi kekuatan baru 10 tahun mendatang. Negara-negara dunia ketiga baik di Asia dan Afrika telah bangkit dan sedikit sadar bosan menjadi kaki tangan imperialis. Bagaimana dengan Indonesia??, SBY-JK masih menjadi kaki-tangan imperialis tapi satu hal yang menggembirakan gerakan rakyat mulai bersemi di berbagai sektor tani, buruh, nelayan, miskin kota dan kekuatan kelas menegah yang kritis

Amerika latin juga tampil memukau dunia dengan munculnya blok sosialis baru yang terus menggelinding mirip bola salju, negara-negara ini bukan direbut lewat kekuatan gerilya kaum pembrontak pada era penaklukan fidel castro dan Che pada kuba tapi lewat jalur parlementarian. Kemenagan sosialis baru di Amerika latin bukanlah perjuangan membalikkan telapak tangan, tidak diraih dalam sekejap tapi tak terlepas doktrin teologi pembebasan gereja katolik, dari reformasi teologi agama. Kemenangan perjuangan rakyat di sentaro negeri akan mempercepat runtuhnya imperialisme.


[Read more]

Posted in Label:

Kehadiran cyberspace oleh teknologi internet dalam kehidupan mau tidak mau harus mendapat perhatian sebab kehadirannya telah menyebabkan terjadinya perubahan dalam berbagai aspek ekonomi-sosial-politik. Internet telah memungkinkan korporasi melakukan aktivitas trans-nasional tanpa perlu mengelurkan biaya yang besar. Mulai dari menganalisis pasar sampai mengatur pendistribusian komoditi mereka, inilah salah satu obat yang dipakai oleh kapitalis zaman industrial untuk mengatasi krisis internal. Begitupun dengan konsolidasi kekuatan politik penguasa. dengan bantuan internet dan teknologi informasi lainnya maka pengawasan dan indoktrinasi menjadi lebih mudah, hal ini mirip dengan yang digambarkan orwell dalam novel 1984 walau ada sedikit perbedaan. Namun efek yang tidak diinginkan dari kehadiran internet dan cyberspace-nya adalah terciptanya sebuah cyberculture yang merupakan sebuah subculture baru. Kehadiran cyberculture sebagai subculture ini memungkinkan munculnya sebuah modus perlawanan baru terhadap tatanan kehidupan yang mapan sebagaimana subculture punk dahulu mengancam kemapanan kehidupan. Salah satu keyakinan dalam subculture ini adalah “informasi dan pengetahuan itu seharusnya bebas” karena keyakinan inilah maka cyberculture sebagai subculture menjadi sebuah ancaman bagi korporasi dan penguasa. Akibat keyakinan bahwa informasi dan pengetahuan itu seharusnya bebas maka merekapun menuju kearah penolokan terhadap segala bentuk otoritarianisme dan karena itulah maka kerap cyberculture sebagai subculture diidentikkan dengan anarchy yang juga sangat anti terhadap segala bentuk otoritarianisme.


Sebagaimana anarchy yang secara substansial telah mengancam dan mempengaruhi tananan kehidupan yang ada (inilah penyebab disebarkannya pembusukan atas anarchy yang terus berlangsung hingga hari ini), keyakinan anti otoritarianisme oleh subculture cybercspace juga mengancam dan mempengaruhi tatanan kehidupan ekonomi-sosial-poltik apalagi kehadirannya yang menjadi semakin memegang peranan penting ditengah-tengah kehidupan nyata saat ini.
Kehadiran cyberculture sebagai subculture inilah yang harus dipertimbangkan dalam gerakan sosial sebab kehadirannya ditengah-tengah kehidupan saat ini adalah nyata. Dampak kehadirannya pun sangat terasa yaitu perubahan pola komunikasi, perubahan bentuk politik-kekuasaan, perubahan pola produksi-konsumsi, dan perubahan-perubahan lainnya.

[Read more]

Posted in

 
WE WILL GO DOWN