Tulisan ini sepenuhnya subjektif karena hanya ditulis berdasarkan hasil pembacaan atas laporan infestigasi (studi lapang) teman-teman peserta advanced training bem unm 2008.
Lokasi infestigasi peserta edvanced di fokuskan pada 4 titiik yaitu pasar tradisional pa'baengbaeng, mal ratu indah, smk pgri ba'la boddong, dan smu kartika candra kirana (untuk lokasi yang terakhir tidak ada hasil, ini disebabkan kemungkinan besar karena faktor kemalasan mereka yang mendapat lokasi di smu kacak).

Mall dan Pasar Tradisional

Dari hasil investigasi teman-teman dipasar tradisional pa'baengbaeng, teman-teman melihat fakta bahwa kondisi pasar tradisional itu memang kotor, jorok, semberaut, dan tidak adanya jaminan keamanan yang jelas. Siapapun tidak akan memungkiri fakta tersebut hanya saja seharusnya muncul sebuah pertanyaan, kenapa kondisi pasar tradisional bisa seperti itu ? Dan jawabannya yang pasti adalah karena tidak adanya rasa memiliki pasar tersebut, baik oleh pedagang maupun pembeli. Hal tersebut wajar sebab mereka tidak memiliki kontrol terhadap pasar tersebut dengan kata lain mereka (para pedagang dan pembeli) tidak memiliki hak pengelolaan pasar tersebut. Pasar dikelola oleh pemerintah beserta aparatus dan kaki tangannya dan para pedangan dan pembeli hanya dipersilahkan menggunakan apa yang mereka hasilkan dari sistem kontrol mereka dengan syarat adanya pajak yang harus mereka bayar sebagai konpensasi atas apa yang mereka berikan. Dengan kondisi dimana pemerintah (beserta aparatus serta kaki tangannya) yang mengambil alih pengelolaan pasar maka secara otomatis kontrol dan kepemilikan tidak berada ditangan para pedagang dan pembeli (sebagai pihak yang terlibat langsung dalam aktifitas pasar). Akibat tidak adanya kontrol dan kepemilikan oleh para pedangan dan pembeli maka wajar saja ketika mereka tidak pernah peduli dengan kondisi pasar (kerap mereka berkata, kita kan sudah membayar pajak maka pemerintahlah yang harus mengurus pasar).
Kondisi pasar yang tidak menyenagkan inilah yang dilihat oleh para pengusaha besar, terbersitlah keinginan membuat suatu tempat yang mirip pasar namun segala hal negatif yang ada dipasar ditiadakan. Dibuatlah mall-mall dimana aktifitas jual beli yang dahulu hanya dimungkinkan dipasar kini dihadirkan disebuah tempat yang bersih, sejuk, aman dan sangat menyenangkan (tapi, semua itu harus dibayar mahal). Mungkin kita akan bertanya dimana peran pemerintah dalam melindungi pasar serta pedagang dan pembeli dari kalangan rakyat kecil ? Jawabannya, tidak ada, yang ada hanyalah peran pemerintah dalam melindungi pengusaha-pengusaha besar beserta aset-asetnya. Bagi orang yang masih memiliki akal sehat tentu ini merupakan penyimpangan, betul ini sebuah penyimpangan namun kita semua tentu tahu bahwa pemerintah membutuhkan dana yang sangat besar untuk menjalankan sistem pemerintahannya dan rakyat kecil (yang sering kepasar tradisional) secara personal tidak mampu memberikan suply dana kepada pemerintah untuk menjalankan sistemnya, yang bisa melakukan itu hanyalah pengusaha maka wajar jika pemerintah tidak peduli pada rakyat kecil dan hanya melindungi pengusaha beserta aset-asetnya (ini belum berbicara seputar mekanisme dan biaya yang diperlukan seorang politikus untuk menjadi pemerintah). Dengan demikian maka mall-mall akan tumbuh subur seiring menguatnya sistem pemerintahan yang ada saat ini dan pasar-pasar tradisional perlahan akan musnah (dikota-kota besar yang lain hal ini telah terbukti dan di kota kita ini hal yang sama akan segera tercipta, cepat atau lambat).

Pendidikan dan Kekuatan Kaum Pekerja

Pada wilayah pendidikan, berdasarkan hasil infistigasi teman-teman peserta advanced training terlihat dengan jelas relasi antara lemahnya posisi buruh dan kondisi pendidikan kita.
Teman-teman yang melakukan infestigasi di smu pgri ba'la boddong melihat realitas pendidikan yang tidak memiliki arti sama sekali selain formalitas. Dilapangan terlihat bahwa akibat tidak adanya bantuan dana yang cukup maka pendidikan yang (mau tidak mau) membutuhkan fasilitas guna mencapai standar mutu (yang ditetapkan oleh pemerintah) tidak mampu bekerja. Ini adalah sebuah paradoks, disatu sisi pemerintah membuat standarisasi mutu namun disisi lain pemerintah tidak memberikan biaya yang cukup untuk kelengkapan fasilitas yang dibutuhkan guna mencapai standar mutu yang ditetapkan pemerintah. Jika kita menggunakan akal sehat maka tentu kita akan membenarkan alasan bahwa pemerintah tidak mampu membiaya seluruh pendidikan. Alasan ini sangat rasional karena banyaknya sekolah-sekolah yang tersebar dimana-mana karena itulah pemerintah mengambil langkah mengotonomikan sekolah pada wilayah pembiayaan (sekolah sendiri yang mecari dana, adapun masalah apa yang harus diajarkan/kurikulum tetap berada dalam kontrol sebab biar bagaimanapun pendidikan merupakan salah satu alat ideologisasi pemerintah atas masyarakat). Akibat dari semua itu maka lahirkanlah sekolah-sekolah yang hanya memproduksi manusia-manusia tanpa kemampuan bertahan hidup. Sekolah-sekolah memproduksi manusia-manusia yang hampir tidak lagi mempunyai apa-apa untuk bertahan hidup selain tenaga fisik dan tubuhnya (tidak jauh berbeda dengan robot-robot, mungkin inilah yang membuat banyak orang yang menganggap sekolah sebagai pabrik-pabrik penghasil robot-robot pekerja). Karena tidak ada lagi yang dapat dipakai untuk bertahaan hidup maka tidak ada pilihan lain bagi lulusan-lulusan sekolah selain menjual tenaganya. Kondisi ini bertambah kacau dengan banyaknya manusia-manusia robot yang diproduksi setiap tahunnya sehingga terjadi over produksi pekerja, inilah yang kemudian membuat nilai seorang pekerja sangat murah. Berdasarkan hasil wawancara dengan salah seorang pekerja di mall teman-teman menemukan sebuah alasan mengapa mereka mau bekerja dalam kondisi yang sangat memprihatinkan, alasan pekerja tersebut “mau apa lagi, mau makan apa kalau tidak kerja”. Jika benar itu alasan mereka maka sesungguhnya para pekerja itu tidak jauh berbeda dengan para pengemis “mau apalagi, dari pada tidak makan”.


Jika ditinjau dari sisi lain, kondisi pendidikan yang kalau balau itu tentu tidak terjadi begitu saja. Sama dengan mekanisme kacaunya pasar tradisional, kacaunya pendidikan pun diakibatkan adanya campurtangan pemerintah dan pengusaha dalam pendidikan. Sebagaimana dirampasnya pengolaan pasar oleh pemerintah maka pendidikanpun dirampas oleh pemerintah dengan alasan yang sama yaitu untuk mengelolanya lebih baik agar memiliki hasil yang lebih bermanfaat bagi seluruh rakyat. Ini adalah omong kosong besar sebab pengelolaan pendidikan oleh pemerintah hanya membuat kacau pendidikan. Kekacauan yang diakibatkan oleh perampasan pengelolaan sekolah oleh pemerintah dari masyarakat terjadi pada segala aspek pendidikan, dua diantaranya yaitu kurikulum yang berujung pada orientasi dan pembiayaan yang berujung pada pengelolaan. Sebelum pemerintah merampas pengelolaan pendidikan, pendidikan berorientasi pada kebutuhan sehingga kurikulum menjadi sesuatu yang hampir tidak dibutuhkan karena proses pendidikan dinamis. Setelah pemerintah merampas pengolaan sekolah maka orientasi pendidikan menjadi menghasilkan tenaga kerja yang mampu terserap dalam dunia kerja (dalam istilah pemerintah dan penguasaha – link and match antara dunia pendidikan dengan dunia industri) atau dengan kata lain orientasi pendidikan menjadi memproduksi tenaga-tenaga kerja. Hal ini wajar sebab (lagi-lagi) yang paling banyak memberikan suply dana kepada pemerintah adalah penguasaha karena itu pemerintah harus melakukan sesuatu yang menguntungkan penguasaha bukan sebaliknya. Pada aspek pengeloaan, akibat pengambil alihan oleh pemerintah maka masyarakat mejadi tidak peduli dengan pengelolaan pendidikan yang mereka tahu hanyalah bahwa mereka telah membayar maka mereka tidak perlu lagi repot-repot memikirkan pengelolaan pendidikan, “bukankah saya sudah bayar !!!” disinilah pengusaha masuk mengambil peran dalam pengelolaan pendidikan sambil melenggang menggiring orientasi pendidikan pada penyediaan stok pekerja yang banyak.

Apa yang ditemukan teman-teman dilapangan dan semua hal diatas sebenarnya bukan lagi sesuatu yang baru namun hal-hal diatas selalu dilupakan begitu saja, seolah-olah tidak berarti bagi kehidupan. Karena itulah mengingatkan adalah sesuatu yang perlu dengan harapan suatu saat akan muncul keinginan untuk melakukan sebuah pemberontakan terhadap tatanan sosial yang timpang ini.
tulisan by elegindo (salah seorang SC).


Posted in

 
WE WILL GO DOWN