Tulisan ini sepenuhnya subjektif karena hanya ditulis berdasarkan hasil pembacaan atas laporan infestigasi (studi lapang) teman-teman peserta advanced training bem unm 2008.
Lokasi infestigasi peserta edvanced di fokuskan pada 4 titiik yaitu pasar tradisional pa'baengbaeng, mal ratu indah, smk pgri ba'la boddong, dan smu kartika candra kirana (untuk lokasi yang terakhir tidak ada hasil, ini disebabkan kemungkinan besar karena faktor kemalasan mereka yang mendapat lokasi di smu kacak).

Mall dan Pasar Tradisional

Dari hasil investigasi teman-teman dipasar tradisional pa'baengbaeng, teman-teman melihat fakta bahwa kondisi pasar tradisional itu memang kotor, jorok, semberaut, dan tidak adanya jaminan keamanan yang jelas. Siapapun tidak akan memungkiri fakta tersebut hanya saja seharusnya muncul sebuah pertanyaan, kenapa kondisi pasar tradisional bisa seperti itu ? Dan jawabannya yang pasti adalah karena tidak adanya rasa memiliki pasar tersebut, baik oleh pedagang maupun pembeli. Hal tersebut wajar sebab mereka tidak memiliki kontrol terhadap pasar tersebut dengan kata lain mereka (para pedagang dan pembeli) tidak memiliki hak pengelolaan pasar tersebut. Pasar dikelola oleh pemerintah beserta aparatus dan kaki tangannya dan para pedangan dan pembeli hanya dipersilahkan menggunakan apa yang mereka hasilkan dari sistem kontrol mereka dengan syarat adanya pajak yang harus mereka bayar sebagai konpensasi atas apa yang mereka berikan. Dengan kondisi dimana pemerintah (beserta aparatus serta kaki tangannya) yang mengambil alih pengelolaan pasar maka secara otomatis kontrol dan kepemilikan tidak berada ditangan para pedagang dan pembeli (sebagai pihak yang terlibat langsung dalam aktifitas pasar). Akibat tidak adanya kontrol dan kepemilikan oleh para pedangan dan pembeli maka wajar saja ketika mereka tidak pernah peduli dengan kondisi pasar (kerap mereka berkata, kita kan sudah membayar pajak maka pemerintahlah yang harus mengurus pasar).
Kondisi pasar yang tidak menyenagkan inilah yang dilihat oleh para pengusaha besar, terbersitlah keinginan membuat suatu tempat yang mirip pasar namun segala hal negatif yang ada dipasar ditiadakan. Dibuatlah mall-mall dimana aktifitas jual beli yang dahulu hanya dimungkinkan dipasar kini dihadirkan disebuah tempat yang bersih, sejuk, aman dan sangat menyenangkan (tapi, semua itu harus dibayar mahal). Mungkin kita akan bertanya dimana peran pemerintah dalam melindungi pasar serta pedagang dan pembeli dari kalangan rakyat kecil ? Jawabannya, tidak ada, yang ada hanyalah peran pemerintah dalam melindungi pengusaha-pengusaha besar beserta aset-asetnya. Bagi orang yang masih memiliki akal sehat tentu ini merupakan penyimpangan, betul ini sebuah penyimpangan namun kita semua tentu tahu bahwa pemerintah membutuhkan dana yang sangat besar untuk menjalankan sistem pemerintahannya dan rakyat kecil (yang sering kepasar tradisional) secara personal tidak mampu memberikan suply dana kepada pemerintah untuk menjalankan sistemnya, yang bisa melakukan itu hanyalah pengusaha maka wajar jika pemerintah tidak peduli pada rakyat kecil dan hanya melindungi pengusaha beserta aset-asetnya (ini belum berbicara seputar mekanisme dan biaya yang diperlukan seorang politikus untuk menjadi pemerintah). Dengan demikian maka mall-mall akan tumbuh subur seiring menguatnya sistem pemerintahan yang ada saat ini dan pasar-pasar tradisional perlahan akan musnah (dikota-kota besar yang lain hal ini telah terbukti dan di kota kita ini hal yang sama akan segera tercipta, cepat atau lambat).

Pendidikan dan Kekuatan Kaum Pekerja

Pada wilayah pendidikan, berdasarkan hasil infistigasi teman-teman peserta advanced training terlihat dengan jelas relasi antara lemahnya posisi buruh dan kondisi pendidikan kita.
Teman-teman yang melakukan infestigasi di smu pgri ba'la boddong melihat realitas pendidikan yang tidak memiliki arti sama sekali selain formalitas. Dilapangan terlihat bahwa akibat tidak adanya bantuan dana yang cukup maka pendidikan yang (mau tidak mau) membutuhkan fasilitas guna mencapai standar mutu (yang ditetapkan oleh pemerintah) tidak mampu bekerja. Ini adalah sebuah paradoks, disatu sisi pemerintah membuat standarisasi mutu namun disisi lain pemerintah tidak memberikan biaya yang cukup untuk kelengkapan fasilitas yang dibutuhkan guna mencapai standar mutu yang ditetapkan pemerintah. Jika kita menggunakan akal sehat maka tentu kita akan membenarkan alasan bahwa pemerintah tidak mampu membiaya seluruh pendidikan. Alasan ini sangat rasional karena banyaknya sekolah-sekolah yang tersebar dimana-mana karena itulah pemerintah mengambil langkah mengotonomikan sekolah pada wilayah pembiayaan (sekolah sendiri yang mecari dana, adapun masalah apa yang harus diajarkan/kurikulum tetap berada dalam kontrol sebab biar bagaimanapun pendidikan merupakan salah satu alat ideologisasi pemerintah atas masyarakat). Akibat dari semua itu maka lahirkanlah sekolah-sekolah yang hanya memproduksi manusia-manusia tanpa kemampuan bertahan hidup. Sekolah-sekolah memproduksi manusia-manusia yang hampir tidak lagi mempunyai apa-apa untuk bertahan hidup selain tenaga fisik dan tubuhnya (tidak jauh berbeda dengan robot-robot, mungkin inilah yang membuat banyak orang yang menganggap sekolah sebagai pabrik-pabrik penghasil robot-robot pekerja). Karena tidak ada lagi yang dapat dipakai untuk bertahaan hidup maka tidak ada pilihan lain bagi lulusan-lulusan sekolah selain menjual tenaganya. Kondisi ini bertambah kacau dengan banyaknya manusia-manusia robot yang diproduksi setiap tahunnya sehingga terjadi over produksi pekerja, inilah yang kemudian membuat nilai seorang pekerja sangat murah. Berdasarkan hasil wawancara dengan salah seorang pekerja di mall teman-teman menemukan sebuah alasan mengapa mereka mau bekerja dalam kondisi yang sangat memprihatinkan, alasan pekerja tersebut “mau apa lagi, mau makan apa kalau tidak kerja”. Jika benar itu alasan mereka maka sesungguhnya para pekerja itu tidak jauh berbeda dengan para pengemis “mau apalagi, dari pada tidak makan”.


Jika ditinjau dari sisi lain, kondisi pendidikan yang kalau balau itu tentu tidak terjadi begitu saja. Sama dengan mekanisme kacaunya pasar tradisional, kacaunya pendidikan pun diakibatkan adanya campurtangan pemerintah dan pengusaha dalam pendidikan. Sebagaimana dirampasnya pengolaan pasar oleh pemerintah maka pendidikanpun dirampas oleh pemerintah dengan alasan yang sama yaitu untuk mengelolanya lebih baik agar memiliki hasil yang lebih bermanfaat bagi seluruh rakyat. Ini adalah omong kosong besar sebab pengelolaan pendidikan oleh pemerintah hanya membuat kacau pendidikan. Kekacauan yang diakibatkan oleh perampasan pengelolaan sekolah oleh pemerintah dari masyarakat terjadi pada segala aspek pendidikan, dua diantaranya yaitu kurikulum yang berujung pada orientasi dan pembiayaan yang berujung pada pengelolaan. Sebelum pemerintah merampas pengelolaan pendidikan, pendidikan berorientasi pada kebutuhan sehingga kurikulum menjadi sesuatu yang hampir tidak dibutuhkan karena proses pendidikan dinamis. Setelah pemerintah merampas pengolaan sekolah maka orientasi pendidikan menjadi menghasilkan tenaga kerja yang mampu terserap dalam dunia kerja (dalam istilah pemerintah dan penguasaha – link and match antara dunia pendidikan dengan dunia industri) atau dengan kata lain orientasi pendidikan menjadi memproduksi tenaga-tenaga kerja. Hal ini wajar sebab (lagi-lagi) yang paling banyak memberikan suply dana kepada pemerintah adalah penguasaha karena itu pemerintah harus melakukan sesuatu yang menguntungkan penguasaha bukan sebaliknya. Pada aspek pengeloaan, akibat pengambil alihan oleh pemerintah maka masyarakat mejadi tidak peduli dengan pengelolaan pendidikan yang mereka tahu hanyalah bahwa mereka telah membayar maka mereka tidak perlu lagi repot-repot memikirkan pengelolaan pendidikan, “bukankah saya sudah bayar !!!” disinilah pengusaha masuk mengambil peran dalam pengelolaan pendidikan sambil melenggang menggiring orientasi pendidikan pada penyediaan stok pekerja yang banyak.

Apa yang ditemukan teman-teman dilapangan dan semua hal diatas sebenarnya bukan lagi sesuatu yang baru namun hal-hal diatas selalu dilupakan begitu saja, seolah-olah tidak berarti bagi kehidupan. Karena itulah mengingatkan adalah sesuatu yang perlu dengan harapan suatu saat akan muncul keinginan untuk melakukan sebuah pemberontakan terhadap tatanan sosial yang timpang ini.
tulisan by elegindo (salah seorang SC).


[Read more]

Posted in

Materi dan Pemateri Advanced Training Nasional 2008

1.Pendidikan dalam teori dan praktik. ; Selasa, 27 Mei 2008 jam:08.00-12.00 wita
pembicara:
Prof. Dr. Arismunandar, M.Pd
Ahmad Badruddin (Pendiri SA Qoryah Tayyibah Salatiga)

2.Studi kritis demokrasi. Selasa, 27 Mei 2008; jam: 20.00-23.30 wita
Pembicara:
Mappinawang S.H
Pamuji Slamet

3.Geopolitik dunia dan krisis imperialisme; Rabu, 28 Mei 2008; jam: 08.00-12.00 wita
Pemateri: Irfan Basri

4. Mall dan penghancuran pasar tradisional; Rabu, 28 Mei 2008; jam: 20.00-23.30 wita
Pembicara:

5. Studi ekonomi alternatif: membincang ekonomi kerakyatan dan perspektif ekonomi subsisten; Kamis, 29 mei 2008; jam: 08.00-12.00 wita
Pembicara:
Prof. Dr.H.M Idris Arief, M.S
Syamsul (AGRA)

6. Realitas masyarakat postkolonial dan upaya dekolonisasi kebudayaan; Kamis, 29 mei 2008; jam: 20.00-23.30
Pembicara:
Alwi Rahman
Muh. Kasman

7. Cyberculture dan masa depan gerakan sosial; Jum’at 30 mei 2008; jam: 08.00-12.00

8. BHP (Badan Hukum Pendidikan): rancang bangun strategi, FGD oleh semua peserta aktif

penjelasan tambahan: 1 makalah grand thema dan 5 draf/makalah/ materi (penjelasan tentang draft makalah baca syarat dan perlengkapan peserta).




[Read more]

Posted in

Terminologi poskolonial dipahami sebagai sikap dan gerakan resisten terhadap otoritarianisme kolonialisme militer, politik dan rejim-rejim wacana yang terus menerus dibangun oleh penguasa kolonial. Pemaknaan ini memperlihatkan pengaruh kuat teori (linguistik) post-strukturalisme yang kemudian dielaborasi lebih jauh oleh tiga tokoh kritik poskolonial berpengaruh, yaitu Edward Said, Gayatri Spivak, dan Homi Bhabha. Studi (pendekatan) poskolonial yang diaplikasikan di sini bukan dimaksudkan sebagai studi mengenai bekas-bekas wilayah koloni (ex-colonies), konsep poskolonial maupun penggunaannya difokuskan pada “analisa dan pengujian terhadap cara-cara (trik-trik) manipulatif dalam proses budaya yang menentukan karakteristik suatu politik. Studi poskolonial menempatkan agendanya pada wacana representasi pengungkapan tentang bagaimana peradaban Dunia Ketiga diproduksi (dihasilkan) melalui pengalaman kolonial. Pendekatan poskolonial juga men-tidakstabil-kan wacana mengenai relasi “the West and the Rest” (dunia maju-Barat dan dunia lain-yang tertinggal) yang selama ini diasumsikan melalui kategori biner (contohnya: developed-less developed; civilised-uncivilised; dan lain-lain)

Negara Dunia Ketiga sebagai kesatuan poskolonial memiliki luka atau trauma penjajahan yang terus ikut serta dalam setiap proses pembentukan jati diri kebangsaan. Menurut Leela Gandhi, negara-bangsa poskolonial cenderung berusaha lepas dari luka tersebut dengan mengupayakan sebentuk diskontinuitas terhadap masa lalu yang menyakitkan itu. Hal ini menyuburkan tumbuhnya amnesia sejarah yang menjadikan masyarakat tercerabut dan tidak pernah bisa kembali pada identitasnya semula, yakni identitas sebelum mengalami penjajahan. Sedemikian besar pengaruh penjajahan, sehingga mempengaruhi pola pikir, pola penghayatan hidup serta pola perilaku masyarakat poskolonial. Negara-bangsa yang terbentuk pun seolah mengalami krisis identitas atau krisis percaya diri, tidak memiliki pegangan yang jelas sehingga mudah digoyahkan dan diombang-ambingkan oleh relasi ketergantungan.

Ketergantungan sebagai konsekuensi logis dari efek lanjutan kolonialisme ini kita temui di dalam globalisasi. Globalisasi juga melahirkan formasi identitas politik yang karakteristiknya dapat kita kenali melalui praktek dan struktur “dominasi serta resistensi”.

Arturo Escobar menggambarkan bahwasanya identitas Dunia Ketiga dibangun dibawah bayang-bayang hegemoni Dunia Pertama. Khususnya ketika masyarakat di Dunia Ketiga memproyeksikan peradaban mereka melalui pencapaian-pencapaian material. Ia melanjutkan kritik-nya dengan melihat isu “kemiskinan” sebagai proyek utama di dalam agenda pembangunan di Dunia Ketiga yang indikatornya memperoleh kategori pembeda dari pencapaian material Dunia Pertama, dimana intervensi yang dilakukan oleh Dunia Pertama (misalnya oleh Bank Dunia―World Bank) mengabaikan aspek-aspek perkembangan kultural yang berlangsung di Dunia Ketiga. Dalam konteks tersebut, bukan hanya “negara” yang ditransformasikan ke dalam obyek pembangunan oleh kekuatan representasi wacana pembangunan, melainkan juga orang―manusia―nya. Meski demikian, pendekatan poskolonial tidak hanya semata-mata menilai efek negatif yang dilahirkan oleh modernitas global, tetapi juga melihat kemungkinan-kemungkinan baru bagi masyarakat di Dunia Ketiga untuk menegosiasikan posisi resistensi mereka di dalam struktur modernitas itu sendiri. Upaya pencarian semacam ini, misalnya, dipelopori oleh Vandana Shiva yang menggagas penemuan kembali nilai-nilai lokal yang menandangi efek negatif dari proyek modernitas Barat.


Meskipun upaya yang dirintis oleh Vandana Shiva pada awalnya hanya merupakan gerakan yang bersifat lokal, akan tetapi globalisasi yang memungkinkan suatu gerakan ditransformasikan melalui diseminasi wacana dan difasilitasi oleh teknologi telah membuat gerakan alternatif semacam itu kini mulai melintasi batas-batas nasional (transnasional). Dari sini ungkapan Michael Keith dan Steve Pile (1993), menjadi relevan, ia menyarankan tiga lokasi bagi batasan-batasan dalam “politik identitas baru (postmodern)”, yakni: (1) lokasi bagi perjuangan (location of struggle); (2) komunitas resistensi (communities of resistance); dan (3) ruang-gerak politik (political spaces). Lokasi bagi perjuangan (location of struggle) merupakan suatu ruang dimana individu memasuki politik. Ruang ini dapat bersifat riil (real space), imajiner (imaginary space), atau simbolik (symbolic space). Komunitas resistensi memerlukan suatu landasan (baik yang bersifat riil, imajiner, ataupun simbolik) yang memungkinkan tumbuhnya formasi aliansi politik dan pemberdayaan aliansi dalam kelompok-kelompok marginal. Oleh karena itu komunitas resistensi memperjuangkan ruang gerak bagi politik identitas sebagai upaya penciptaan alternatif-alternatif kemungkinan-kemungkinan politis (the alternatives of political possibilities).

Lewat materi ini peserta diharapkan dapat merumuskan inisiasi gerak dalam ranah kebudayaan baik secara personal maupun kolektif. Semoga

[Read more]

Posted in Label:

Kota sebagai penanda peradaban dimulai dari jalur perdagangan yang disinggahi oleh saudagar dari berbagai negeri, metropolitan Indonesia saat ini berawal dari sana menjelma menjadi sosok raksasa yang menakutkan. Alun-alun kota sebagai penanda kota yang berfungsi sebagai mediasi perkembagan demokrasi, tapi itu dulu.Ketika era mal muncul di era 90-an di kota-kota besar Indonesia, kegairahan massa beralih ke mall dan memalingkan alun-alun sebagai fungsi public yang menyangga demokrasi yang sehat karena berfungsi sebagai public share. Mal tidak sekedar sejumlah petakan-petakan outlet jual beli yang dipersewakan tetapi sekaligus menawarkan sihir yang luar biasa, citra mal sebagai pusat belanja yang tren tidaklah jatuh dari langit.

Sebelum era mal, kita mengenal pusat perbelanjaan yang berskala menengah atau pusat pertokoaan tapi sebagian besar aktivitas ekonomi belum merebak menjadi sihir consumtifisme. Mal menawarkan berbagai kemudahan yang dapat dinikmati oleh konsumen dimana tersedia berbagai kebutuhan dalam satu bangunan mewah mentrend, mulai dari urusan perut, cuci mata hingga urusan perawatan tubuhuh bahkan menyediakan area permainan anak/keluarga, singkatnya segala urusan hidup anda semuanya ada disana. Orang-orang yang datang di mal bukanlah kelas sandal jepit yang terbelit kesusahan hidup, meskipun ada hanya datang menyiksa hasrat atau sebagai karyawan.

Masyarakat pun menganggap mal sebagai simbol kemoderenan dan kamajuan kota yang akan mempermudah hidupnya dan dapat membanggakanya sebagai warga kota. Dalam poling harian Fajar beberapa bulan lalu mengenai pembangunan mal bawa tanah karebosi, dimana sebagian besar komentar masyarakat mendukung dengan alasan dangkal, mereka menganggap mal bawah tanah sebagai ikon kota seperti Blok M Jakarta, kesesatan berpikir masyarakat semakin sempurna. Meski mal telah memberi kemudahan berbelanja dan pendapata pada kas Negara tetapi menghancurkan prekonomian pasar-pasar tradisional dimana prekonomian dikuasai oleh segelintir orang bahkan dapat berimplikasi pada hancurnya ekonomi subsistem yang dikelola mandiri oleh rakyat

Ada beberapa mal dan pusat perbelanjaan besar atau ritel yang menghacurkan pasar-pasar tradisional di negeri ini, berbondong-bondongnya konsumen menyerbu mal menyebabkan berkurangnya pelanggan pasar tradisional yang memiliki sejarah panjang. Kemudahan berbelanja dan ditunjang fasilitas yang nyaman membuat para konsumen ke mal atau pasar ritel, perbandingan antara mal dan pasar tradisional secara pisik memang lebih ‘kren’ mal tapi ada sesuatu yang hilang dalam transaksi mal. Konsumen hanya sekumpulan manusia diam yang hanya bisa bertatap-tatapan tanpa ada komat-kamit, meskipun berbicara hanya sekedar basa-basi atau bertanya letak barang, seni tawar-menawar hilang digantikan tempelen harga, konsumen bukanlah keluarga besar bagi para penjual tapi sekumpulan capital yang penghasil laba, bahkan hak konsumen terkadang diabaikan


Antonio Gramschi mengigatkan, hegemoni berjalan sukses ketika kelas tertindas terobsesi dengan ideology kelas berkuasa, begitulah kiranya pandangan masyarakat yang menganggap mal sebagai penanda kemajuan dan modernitas kota metro, sekali lagi dan sekali lagi mal tak ada urusanya dengan kemajuan taraf peradaban karena disanalah kita temukan manusia modern paling nyata. Modernitas tak ada sangkut pautnya dengan kehausan berbelanja, justru modernitas menempatkan akal untuk berpikir sehat. Mitos kemajuan ini digunakan alat untuk meraup keuntungan besar yang berujung hancurnya pasar-pasar tradisional, di pasar bukan sekedar mencari untung juga lahir kebersamaan dan kebudayaan sebuah masyarakat. Tahukah anda berapa karyawan pasar tradisional yang terpaksa di PHK karena sepinya pengunjung?. Saat ini ada ratusan ribu orang menggantungkan hidup mereka disana, masihkah anada senang berbelanja di mal???

[Read more]

Posted in Label:

Sejarah kini dan akan datang adalah sejarah perjuangan kelas, frase yang sering disebutkan Marx dalam tulisanya, sebuah ungkapan yang menggambarkan kehidupan manusia dikuasai segelintir orang serakah menaklukan milyaran manusia yang dilanda histeria. Dunia hadir tak seindah gambaran Tuhan bahwa manusia sama di hadapan Tuhan, dunia diperhadapkan pada pertarungan kelas yang melahirkan kontradiksi-kontradiksi yang semakin meruncing, contohnya resisi US dan sekutunya kian memuncak dan imperialisme akan menggali kuburnya.

Mulanya berasal dari gilda-gilda atau kongsi dagang yang terbatas melintasi perdagangan di sentaro negeri, perebutan pasar-pasar dan pusat perdagangan hingga perebutan rempa-rempa di dunia Timur. Disinilah babak baru embrio kapitaliseme hingga meluas dalam bentuk kolonialisasi Asia, Afrika dan Amerika paska penemuan Kolumbus. Kolonialisme awalnya tidak dilihat sebagai sebuah tindakan kebiadaban dan pelanggaran terhadap hak asai manusia, oleh masyarakat Eropa dianggapnya sebagai aksi pemanusian bangsa Barat yang memiliki derajat tinggi dimata Tuhan atas dunia Timur yang mistis, emosional, unik, eskotis, terbelakang dan bahkan mensejajarkanya dengan fauna seperti bangsa Aborigin. Bahkan masih dinggap founa pada era 60-an, semua streotipe itu dibangun lewat pengetahuan dan kebudayaan untuk mempertajam dominasi ekonomi dan kedaulatan negeri-negeri jajahan (Edward Said, Orientalisme:1970)

Dunia kini telah terbagi dalam dua bagian yang tidak hanya dipisahkan secara geografis tapi ideologis seperti Timur-Bara, Utara-Selatan dalam perspektif ekonomi. Amerika dan sekutu dekatnya yang sebagian besar Negara dunia maju memimpin dominasi Negara berkembang, pasar ekonomi pun dibagi mirip pembagian kolonialisme masa lalu. Timur tengah objek seksi untuk disandra--dalam bahasa Riza Sihabudi—oleh para imperialis untuk mempertahankan ladang minyak, karena dari sini nadi imperialisme untuk melanjutkan dominasi dalam satu sisitem besar bernama KPITALISME, tanpa minyak imperialis menemukan ajalnya.

Lembaga-lembaga keuangan international dan korporasi TNCs adalah penyokong imperialisme yang lahir dari rahim sah kapitalisme yang terus berkeliaran mencari pasar-pasar taklukan baru karena di Negara imperialis maju telah terjadi over produksi sehingga mengharuskanya melakukan ekspor capital kenegara-negara berkembang. Ekspor capital dapat beruwujud investasi, bantuan keuangan alias utang, hibah dan mendanai berbagai proyek-proyek liberalisasi dan berbagai isu-isu yang dapat mencegah penentagan tajam terhadap system keserkahan global lewat tangan-tangan LSM

Tapi jangan dikira imperlisme akan selalu solid tanpa kendala, krisis internal telah muncul kepermukaan, watak asli imperialisme terlah terbuka. Penyerangan Afganistan dan Irak sebagai bukti Amerika dan sekutu terdekatnya melakukan agresi kebiadabanya menaklukan Negara berdaulat yang bertentangan dengan prinsip HAM yang sering dielukkan, kini imperialisme telah memperlihatkan kebiadabanya secara terbuka mirip nenek moyang merekapa pada abad ke-17. Invasi ini bukanlah memburu teroris atau senjata kimia tapi sejatinya memburu minyak/MIGAS di kedua Negara itu yang menyimpan jutaan barel, buktinya invasi tersebut didukung oleh enam korporasi besar yang tentu saja mereka akan menerima berbagai proyek rekonstruksi pasca perang dan eksplorasi cadangan minyak AS kedepan, ketika Negara dunia maju berbicara tentang HAM, pluralisme dan demokrasi maka itu adalah memburu MIGAS. Beberapa Negara imprealis lainya juga menentang invasi tersebut tentu bukan alasan kemanusian tetapi tidak lebih upaya perebutan ladang-ladang minyak karena pada pemerintahan Saddam Prancis dan beberapa Negara telah menjalin kerjasama dengan rezim Saddam.


Disisi lain yang menggembirakan munculnya kekuatan alternatif dunia yang tak dapat disepelekan membuat Amerika kerepotan, apalagi menguatnya poros setan dalam tuduhan Amerika seperti Iran, Korut dan Kuba cukup membuat berang Negara-negara US dan sekutu Eropanya. melakukan agresi tentu bukan perkara gampang karena disamping membutuhkan dana juga persoalan Afgan dan Irak kian tak memiliki ujung penyelesaian justru kekacauan kian meluas dan penentangan pendudukan kian menguat baik di luar maupun dalam negeri US dan Negara yang mendukungnya. Menguatnya dominasi Cina di pentas politik ekonomia dunia membuat repot berbagai Negara yang selama ini menikmati pasar tanpa saingan, disisi lain juga Cina tak dapat diremehkan dari sisi militer yang hampir mengimbangi kekuatan US. India pula tampil memukau dengan kemajuan ekonominya dan disusul Negara sosialis Vietnam menjadi kekuatan baru 10 tahun mendatang. Negara-negara dunia ketiga baik di Asia dan Afrika telah bangkit dan sedikit sadar bosan menjadi kaki tangan imperialis. Bagaimana dengan Indonesia??, SBY-JK masih menjadi kaki-tangan imperialis tapi satu hal yang menggembirakan gerakan rakyat mulai bersemi di berbagai sektor tani, buruh, nelayan, miskin kota dan kekuatan kelas menegah yang kritis

Amerika latin juga tampil memukau dunia dengan munculnya blok sosialis baru yang terus menggelinding mirip bola salju, negara-negara ini bukan direbut lewat kekuatan gerilya kaum pembrontak pada era penaklukan fidel castro dan Che pada kuba tapi lewat jalur parlementarian. Kemenagan sosialis baru di Amerika latin bukanlah perjuangan membalikkan telapak tangan, tidak diraih dalam sekejap tapi tak terlepas doktrin teologi pembebasan gereja katolik, dari reformasi teologi agama. Kemenangan perjuangan rakyat di sentaro negeri akan mempercepat runtuhnya imperialisme.


[Read more]

Posted in Label:

Kehadiran cyberspace oleh teknologi internet dalam kehidupan mau tidak mau harus mendapat perhatian sebab kehadirannya telah menyebabkan terjadinya perubahan dalam berbagai aspek ekonomi-sosial-politik. Internet telah memungkinkan korporasi melakukan aktivitas trans-nasional tanpa perlu mengelurkan biaya yang besar. Mulai dari menganalisis pasar sampai mengatur pendistribusian komoditi mereka, inilah salah satu obat yang dipakai oleh kapitalis zaman industrial untuk mengatasi krisis internal. Begitupun dengan konsolidasi kekuatan politik penguasa. dengan bantuan internet dan teknologi informasi lainnya maka pengawasan dan indoktrinasi menjadi lebih mudah, hal ini mirip dengan yang digambarkan orwell dalam novel 1984 walau ada sedikit perbedaan. Namun efek yang tidak diinginkan dari kehadiran internet dan cyberspace-nya adalah terciptanya sebuah cyberculture yang merupakan sebuah subculture baru. Kehadiran cyberculture sebagai subculture ini memungkinkan munculnya sebuah modus perlawanan baru terhadap tatanan kehidupan yang mapan sebagaimana subculture punk dahulu mengancam kemapanan kehidupan. Salah satu keyakinan dalam subculture ini adalah “informasi dan pengetahuan itu seharusnya bebas” karena keyakinan inilah maka cyberculture sebagai subculture menjadi sebuah ancaman bagi korporasi dan penguasa. Akibat keyakinan bahwa informasi dan pengetahuan itu seharusnya bebas maka merekapun menuju kearah penolokan terhadap segala bentuk otoritarianisme dan karena itulah maka kerap cyberculture sebagai subculture diidentikkan dengan anarchy yang juga sangat anti terhadap segala bentuk otoritarianisme.


Sebagaimana anarchy yang secara substansial telah mengancam dan mempengaruhi tananan kehidupan yang ada (inilah penyebab disebarkannya pembusukan atas anarchy yang terus berlangsung hingga hari ini), keyakinan anti otoritarianisme oleh subculture cybercspace juga mengancam dan mempengaruhi tatanan kehidupan ekonomi-sosial-poltik apalagi kehadirannya yang menjadi semakin memegang peranan penting ditengah-tengah kehidupan nyata saat ini.
Kehadiran cyberculture sebagai subculture inilah yang harus dipertimbangkan dalam gerakan sosial sebab kehadirannya ditengah-tengah kehidupan saat ini adalah nyata. Dampak kehadirannya pun sangat terasa yaitu perubahan pola komunikasi, perubahan bentuk politik-kekuasaan, perubahan pola produksi-konsumsi, dan perubahan-perubahan lainnya.

[Read more]

Posted in

Pasar bebas seperti gurita raksasa, yang memangsa siapapun yang ada dihadapannya. Sistem ekonomi neoliberalisme yang memandang bahwa interaksi manusia hanya sekedar motif ekonomi (homooeconomicus). Dalam ekonomi neolib pula modal dibiarkan bergerak bebas tanpa batas. Kedigdayaannya yang hanya melahirkan segelintir yang kaya dan kesengsaraan di banyak tempat.
Berdasarkan rekaman sejarah, terdapat sejumlah alternatif pembangunan ekonomi di luar sistem kapitalisme-neoliberal. Pertama, adalah sistem sosialisme dimana ide dasarnya adalah menempatkan proses produksi dan pemasaran di bawah kontrol kelas pekerja. Dengan demikian, kelas pekerja tidak hanya menjual tenaga kerjanya tapi juga, menguasai dan mengontrol hasil kerjanya. Saat ini, sistem ekonomi sosialis beroperasi secara teorganisir di Kuba. Kedua, sistem ekonomi yang berwatak nasionalistik, Dalam sistem ini, pembangunan ekonomi nasional dibimbing, dikawal dan difasilitasi oleh negara agar tidak terempas oleh gelombang persaingan bebas. Korea Selatan di masa kediktatoran militer, Taiwan di masa kediktatoran Chiang Khai Shek, dan Iran di bawah rejim mullah adalah prototipe pembangunan ekonomi yang berwatak nasionalistik. Ketiga, sistem ekonomi yang berwatak populis. Dalam sistem ini, pemerintah yang berkuasa memberikan prioritas kepada sektor usaha kecil dan menengah di dalam negeri.
Bagaimana dengan Indonesia? Sistem apakah yang bisa menjadi alternatif di luar kapitalisme-neoliberal?. Marhanenisme muncul dalam slogan Berdikari (berdiri di atas kaki sendiri) dan Bung Hatta muncul dengan ide koperasi yang dianggapnya sesuai dengan ciri asli masyarakat Indonesia. Kedua ide pembangunan ekonomi ini menemui kegagalan. Ide Marhaenisme dilibas oleh gemuruh kapitalisme Orde Baru. Sementara ide koperasi diadopsi dan kemudian dimitoskan oleh rejim Orba. Bentuk ekonomi koperasi ditaruh di sangkar emas kekuasaan, tapi dibonsai di lapangan praktek.
Sebuah sistem sistem ekonomi alternatif memang hanya bisa dibuat dan diterapkan oleh sebuah sistem politik yang juga berkomitmen kuat untuk itu. Sebuah pemerintahan neoliberal, seperti SBY-JK, tentu saja tak bisa diharapkan. Mereka lebih mengutamakan pembangunan yang dihela oleh utang LN dan investasi asing.


Kini tak cukup lagi berteriak anti neoliberalisme/ anti kapitalisme. Lebih penting lagi "adakah alternatif di luar mekanisme pasar bebas?" Apa alternatif pembiayaan pembangunan pengganti utang luar negeri? Apa alternatif bagi penyehatan BUMN tanpa harus melakukan privatisasi? Ekonomi rakyat itu seperti apa sih? Apakah yang berbentuk koperasi ataukah ekonomi komunitas model masyarakat adat? Perspektif subsisten itu bagaimana? Pertanyaan-pertanyaan di atas yang akan ditelusuri dalam materi ini.

[Read more]

Posted in Label:

Ekspansi sitem kapitalisme ke dalam dunia pendidikan telah menciptakan sebuah kondisi bertautnya logika pendidikan dengan logika kapitallisme, pendidikan kemudian menjelma menjadi mesin untuk mencari keuntungan.
Dunia pendidikan yang sesungguhnya dibnagun berdasarkan nilai-nilai objektivitas, keilmiahan, kejujuran dan kebijaksanaan sebagai nilai dasar pencarian pengetahuan kini ambruk dan dimuati nilai-nilai komersial, sebagai refleksi keberpihakan pada kapital.
Dunia pendidikan menurut Hans Magnus Enzensberger, menjadi sebuah industi besar pikiran yang memproduksi pikiran-pikiran seragam yaitu pikiran-pikiran yang terperangkap dalam motif-motif komersial dan keuntungan semata. orang bersekolah, kuliah hingga sarjana, mempunyai spesialisasi khusus hanya dipersiapkan hanya untuk berintegrasi ke industri, menjadi pekerja, menjadi sekrup di dalam mesin industrialisasi dan kapitalisme. Dalam hal ini, pemaksaan pendidikan tinggi untuk menghasilkan lulusan yang hanya siap bekerja di industri (link and match) adalah kekerasan budaya (culture violence). Pikiran-pikiran lain yang bermotif moral, sosial, kultural dan spiritual yang sesungguhnya sangat kaya tidak menapat tempat yang memadai. Paradigma pendidikan yang berorientasi pasar hanya akan menghambat kepeloporan, kepemimpinan , kemanusiaan, belaskasih yang justru sangat diperlukan untuk membentuk manusia sempurna. Nantinya, Dunia pendidikan yang mengidap penyakit merkantilisme pengetahuan tidak jauh beda dengan konsep waralaba ala McD dan sejumlah korporasi multinasional yang lain._bandingkan dengan konsep lahirnya BHP_.

Pendidikan tepatnya lembaga pendidikan lebih sibuk mempersiapkan diri menyongsong dunia baru. Dunia bisnis pertunjukan! Guy Debord, dalam The Society of the Spectacle, menyebut masyarakat mutakhir, "masyarakat dunia tontonan". Dalam "masyarakat dunia tontonan", citra, kesan, dan penampilan luar adalah segalanya. Sehingga Ia perlu dikemas agar memikat masyarakat.Misalnya, dalam pendidikan adalah kemasan, kesan indah, ramah, taman yang indah, bangunan megah dan tentu mewah adalah yang utama. Bukan pendidikan itu sendiri, yang cinta kesederhanaan, kebenaran, pembebas manusia dari ketertindasan. Ketertindasan dari nafsu uang dan kuasa serta ketertindassan dari “silent culture” lewat hegemoni( baik oleh majikan, pemerintah d.l.l).

Lewat materi ini peserta diharapkan mampu melacak akar-akar permasalahan dalam pendidikan. Yang seolah berjarak antara teori dan praktik, menganalisis relasi pendidikan dan kekuasaan, pendidikan alat hegemoni. Relasi logika pendidikan dan logika kapitalisme. Belajar dari model-model pendidikan alternatif. Nantinya mampu memberi dan bertindak alternatif serta berbagai inisiasi yang mengembalikan pendidikan sebagai pembebas dari ketertindasan negara dan modal.


Pembicara: Ahmad Bahruddin (Pendiri Sekolah Alternatif Qoryah Tayyibah Salatiga) dan Prof Dr.Arismunandar, M.Pd

[Read more]

Posted in Label:

Demokrasi adalah konsep yang sangat tua yakni Abad ke-6 sebelum Masehi sampai dengan pertengahan abad ke 4 sebelum Masehi dan di praktekkan di polis-polis (Negara kota) di Athena dan sekitarnya. “People” dalam konteks Yunani Kuno adalah warga Negara laki-laki.
Demokrasi yang dikenal sekarang adalah perpaduan dari dua konsep yang sama sekali berbeda. Pertama, konsep demokrasi (demos dan cratein) yang memang berakar dari tradisi Yunani Kuno dan Kedua, konsep representasi yang berakar dari sistem feodal. Kedua hal ini menghasilkan apa yang disebut dengan Representative Democracy atau demokrasi perwakilan. Dalam perkembangan selanjutnya, lembaga ini berkembang menjadi salah satu kamar dalam parlemen negara-negara, seperti kelihatan nyata-nyata dalam parlemen tertua di dunia, yakni House of Commons dalam Parlemen Inggris.

Agenda pembangunan demokrasi di banyak negara Dunia Ketiga saat ini tidak bisa dilepaskan dari proyek globalisasi ekonomi yang dimotori oleh negara-negara maju (Barat), yang secara aktual semakin mempolarisasi dunia ke dalam ruang-ruang ketidakadilan dan ke-tidaksetara-an (global spaces of injustice and inequality). Berbagai rezim pemerintahan di Dunia Ketiga menyepakati kepentingan untuk memfasilitasi tumbuhnya institusi dan praktek demokrasi yang memungkinkan ruang yang lebih luas bagi intervensi negara-negara Dunia Pertama sebagai pemberi donor dari proyek pembangunan di negara-negara Dunia Ketiga itu. Secara khusus, intervensi ini mewakili kepentingan ekonomi untuk mengorientasikan negara-negara Dunia Ketiga berintegrasi ke dalam sistem pasar global meskipun kondisi yang memungkinkan bagi proses integrasi itu tidak setara. Menurut Noam Chomsky (1996), kondisi ketidaksetaraan dalam globalisasi ini merupakan suatu agenda imperialisme mutakhir yang secara ironis difasilitasi oleh kanal-kanal (saluran) demokrasi dimana rezim pemerintahan terpilih sebagai representasi dari konsituennya. Jadi dapat dikatakan, efek politik representasi sangat memungkinkan membuka peluang bagi praktek-praktek demokrasi yang distorsif.

Demokrasi kerap disamakan dengan pemilu. Indonesia yang dianggap sebagai penyelenggara demokrasi “tersukses” sejak pemilu 2004. namun bersamaan dengan predikat tersebut jumlah penduduk miskin di Indonesia meningkat, ketidakpedulian pemerintah terhadap warga negara semakin nyata. Dan negara seolah tak peduli dengan warganya. Pemerintah lebih sibuk menjamu para investor/ pemodal, menyediakan hidangan undang-undang, regulasi dan semacamnya daripada memenuhi hak konstituennya. Benarkah demokrasi hanya melahirkan kesengsaraan bagi masyarakat ?, hanya sebagai alat eksploitasi rakyat dan sumber daya alam.
Fenomena-fenomana yang terjadi semakin meneguhkan pandangan banyak kalangan bahwa Power tends to corrupt. Demokrasi perwakilan tidak mungkin dilaksanakan tanpa distorsi. Ketika para wakil rakyat sudah duduk di parlemen, maka mereka memiliki kepentingan yang relatif berbeda dari kepentingan yang diwakilinya. Seringkali, mereka berpendapat bahwa mereka lebih mengetahui apa yang terbaik untuk para pemilihnya. Hal ini akan mendistorsikan aspirasi. Ada beberapa alternatif yang dapat dijadikan wacana selain demokrasi perwakilan. upaya untuk meminimalisir distorsi aspirasi yaitu inisiasi warga, referendum dan recall. Alternatif lain yang harus dilakukan untuk mengkompensasi distorsi aspirasi dalam Demorasi Perwakilan adalah lembaga Promulgasi. Kira-kira, promulgasi itu sama dengan ketika para pengawal raja pada zaman kolonial pergi ke tengah pasar, membunyikan terompet dan membuka gulungan kertas serta mengumumkan titah raja kepada khayalak ramai. Alternatif lain adalah anarkisme.
Berlainan dengan anggapan umum bahwa anarkisme adalah keadaan kacau balau, a-narchos berarti tanpa penguasa. Dalam filosofi anarkisme, istilah ini dipergunakan secara positif untuk menggambarkan masyarakat tanpa penguasa dan tanpa hukum yang segala sesuatunya diusahakan bersama secara sukarela.

Lewat materi ini, peserta akan menelusuri akar-akar masalah dan akibat yang ditimbulkan oleh penerapan demokrasi perwakilan. Meriset relasi demokrasi dengan gerak laju kapitalisme global melalui studi letaratur dan fakta-fakta. Dapat pula memanfaatkan analisis dalam lapangan sosial dengan mencermati relasi negera-pemodal dan warga negara. Distorsi aspirasi demokrasi perwakilan secara langsung akan di bandingkan dengan proses-proses pengambilan keputusan/kebijakan oleh komunitas/kolektif-kolektif yang menerapkan demokrasi langsung misalnya komunitas zapatista di chiapas, atau komunitas cyber yang mengembangkan proyek opensource movement dan lain-lain.


pembicara/pengantar diskusi: Pamuji Slamet dan Mappinawang S.H

[Read more]

Posted in Label:

Syarat peserta
1.Peserta adalah kaum terdidik/mahasiswa yang bersedia menjadi bagian dari upaya global melawan neoliberalisme-kapitalisme global.
2.Membuat makalah minimal satu tulisan orisinal baik yang pernah dipublikasikan maupun yang belum dipublikasikan. Tulisan sebaiknya dikirim secepat mungkin kepada tim steering di sekretariat BEM UNM atau via e-mail: advanced_t@ yahoo.com paling lambat 5 hari sebelum pelaksanaan pelatihan.
3.Membuat makalah atau draft makalah/essai minimal 5 dari seluruh materi Advanced Training, diserahkan ke Tim Steering Commiteee (SC) dalam bentuk disket (file) dan print out. Makalah dan atau draft makalah dibawa serta pada saat mengikuti wawancara dengan tim steering committee. Makalah ini akan disempurnakan di pelatihan Advanced Training setelah mendapat masukan dari narasumber dan diskusi dengan peserta lain bersama steering committee/fasilitator.
4.Bersedia mengikuti wawancara yang akan dilakukan SC Advanced Training 2008 BEM UNM (Jadwal terlampir).
5.membayar biaya administrasi dan akomodasi yang ditetapkan panitia.
6.Bersedia mengikuti segala peraturan/kesepakatan Advanced Training 2008.



Perlengkapan peserta
1.Perlengkapan administrasi seperti sertifikat atau keterangan lulus Intermediate training, rekomendasi dari LK (Lembaga kemahasiswaan) yang mengutus.
2.Perlengkapan materil dan non materil seperti kesiapan mental, fisik dan literature (buku minimal 15 judul) sesuai dengan isu dan materi yang akan didiskusikan, mesin ketik/laptop dan keperluan lainnya selama di training.
3.Membuat makalah prasyarat tentang grand tema dan 5 draf makalah dari 8 materi Advanced Training. Draf makalah/essai yang dimaksud adalah pokok-pokok pikiran (pendapat tokoh, laporan, hasil analisis atau kajian, dan kumpulan pemikiran) seputar tema materi yang dipilh. Yang disusun secara tertulis dengan mengikutkan referensinya. Draf tersebut akan disempurnakan dalam pelatihan.

[Read more]

Posted in Label:

Asumsi yang dipakkai dalam pelatihan ini adalah bahwa peserta bukanlah orang yang datang dengan pengetahuan, pengalaman dan keterampilan yang kosong, pelatihan ini bersifat defragmenting (menata ulang) terhadap kekayaan pengetahuan peserta melalui tukar pikiran antar sesama peserta dan atau mengkonfirmasikannya dengan nara sumber. Dalam training metode yang digunakan adalah diskusi, studi kasus, studi literature, seminar, studi lapang yang diterapkan secara bergantian.


----------- VIVA FREEDOM-----------------

[Read more]

Posted in Label:

Asumsi yang dipakkai dalam pelatihan ini adalah bahwa peserta bukanlah orang yang datang dengan pengetahuan, pengalaman dan keterampilan yang kosong, pelatihan ini bersifat defragmenting (menata ulang) terhadap kekayaan pengetahuan peserta melalui tukar pikiran antar sesama peserta dan atau mengkonfirmasikannya dengan nara sumber. Dalam training metode yang digunakan adalah diskusi, studi kasus, studi literature, seminar, studi lapang yang diterapkan secara bergantian.


----------- VIVA FREEDOM-----------------

[Read more]

Posted in

Hampir setiap ruang dalam hidup dan kehidupan kita diwarnai oleh watak utama kapitalisme. Sadar ataupun tanpa kita sadari fitur-fitur dan tradisi kapitalisme seringkali dirawat, dipraktikkan dalam keseharian kita. Misalnya, eksploitasi individu yang satu kepada individu lain, eksploitasi alam, komodifikasi aset-aset publik, pola hidup konsumtif dan lain-lain.
Dalam ranah yang lebih luas, misalnya di bidang politik dengan sistem demokrasi perwakilan, dimana pengambilan keputusan/kebijakan untuk harkat hidup orang banyak hanya dilakukan oleh segelintir orang yang merasa banyak tahu tentang permasalahan masyarakat. Di bidang ekonoomi, dengan ekonomi neoliberal yang melahirkan raja-raja ekonomi seperti WTO yang punya mandat membuat aturan-aturan perdagangan, IMF, G8, AFTA dan lain-lain dengan doktrin utama setiap hal/sesuatu adalah komoditi yang orientasinya meraup keuntungan sebebesar-besarnya dan menimbun kekayaan, perdagangan bebas beriringan dengan ketimpangan ekonomi berskala dunia. Akibat ikutan dari kapitalisme global, masyarakat digiring untuk menganut sebuah budaya tunggal, konsumtif dan hedonis.
Dalam ranah pendidikan, karena watak dasarnya adalah komidifikasi maka pendidikan pun dijadikan komoditi. Aroma swastanisasi perguruan tinggi lewat BHP (Badan Hukum Pendidikan) begitu menyengat adalah salah satu bukti nyata ekspansi kapitalisme global. Merkantilisme pengetahuan dimana pengetahun dalam pendidikan diproduksi dan direproduksi untuk diperjualbelikan, diperdagangkan demi meraup laba-laba dan laba.
Benarkah dunia kini telah menuju ke titik tungal kemenangan kapitalisme neoliberalisme seperti khutbah fukuyama dalam the end of history?. yang menyeret semua umat manusia di seantero dunia berperilaku sama, pakain yang sama, makanan yang sama, tradisi yang sama dan seterusnya namun dikendalikan oleh segelintir orang. Alangkah tidak indahnya jika itu yang terjadi. Pelangi begitu indah karena warna-warninya. Dan harapan untuk mewujudkannya tak sepenuhnya sirna.
Dimitri Mahayana dalam Berhala Globalisme dan Kapitalisme global menyebutkan bahwa Empat serangkai, korporasi-korporasi raksasa dunia, para penguasa dunia (bangsa adidaya), sistem –sistem perekayasa dunia (mulai dari Bank-Bank kelas dunia hingga Hak Kreatifitas Intelektual) dan keempat yang memperkokoh hegemoni kapitalisme global adalah para intelektual. Dalam simbolisme agama ini adalah Bal’am,yang merupakan figur ulama yang memihak para penindas. Dikembangkan secara besar-besaran wacana-wacana yang memandang dunia dan masyarakat yang penuh kebinekaan ini dengan kacamata tunggal. Yakni globalisasi. Toffler, Naisbitt, Ohmae, dan banyak pemikir lain. Globalisasi, dalam arti lenyapnya batas-batas antar negara, dianggap sebagai keniscayaan alamiah yang tidak pernah mungkin dapat ditolak lagi. Sebagaimana air jatuh ke bumi karena ditarik gravitasi bumi, teknologi modern, - khususnya -,teknologi informasi dan komunikasi menjebol batas-batas antar negara.Tidak ada lagi kendali pemerintah atas segala hal di masyarakatnya. Para pemikir dan intelektual mengeluarkan serangkaian teori-teori dan pandangan yang seolah-olah tidak memiliki alternatif lain.
Kapitalisme telah berubah. Seperti mahluk mutan yang menjadi monster karena terkena limbah beracun dari kotorannya sendiri, kapitalisme semakin brutal dan mengerikan. Aiko Morita, kepala Sony Corporation, berteriak-teriak hingga serak mengingatkan dunia akan bahaya besar terjerumusnya kapitalisme ke dalam limbah beracunnya sendiri, yaitu peralihan dari kapitalisme industri produktif ke kapitalisme jasa keuangan dan spekulasi. Kaum kapitalis raksasa dunia tidak lagi mengabdi pada kapital sebagai industrialis yang menciptakan pekerjaan-pekerjaan dan barang-barang yang bernilai-guna, tapi menggelimangkan diri ke dalam spekulasi pasar uang, pencaplokan perusahaan lewat pasar saham, dan aktivitas yang parasitis lainnya.Dapat disarikan bahwa tanah tempat tumbuhnya ideologi neoliberalisme adalah peralihan kapitalisme muda yang segar-bugar menjadi kapitalisme lanjut yang renta dan liar.
Dalam kapitalisme lanjut,
a.Hukum persaingan bebas yang merupakan ruh kapitalisme akhirnya mencapai titik jenuh dan berbalik dengan berkembangnya pasar monopoli (saat ini kapital raksasa dunia hanya dikuasai sekitar 200 korporasi global).
b.Penggabungan kapital industri dan kapital keuangan. Kapitalisme bergerak dari menghasilkan barang (kapital industri) menjadi sekadar menghasilkan kekayaan bagi kapitalisnya sendiri lewat spekulasi saham, obligasi, dan mata uang.
c.Kekuasaan kapitalis bersifat banyak denyut (multitude) atau tidak memusat hanya dalam ekonomi tapi juga politik, budaya, pikiran, dan kehidupan sehari-hari. Tekanan ketundukan tidak lagi berasal dari kekuasaan negara bangsa meski kapitalis sering menggunakannya. Penghuni puncak semua korporasi global tidak peduli kewarganegaraan atau multi-kewarganegaraan.
d.Perkembangan kekuatan produktif (teknologi, ilmu pengetahuan) mencapai tahap yang memungkinkan kapital bergerak cepat dan dalam jumlah sangat besar (Internet dan teknologi informasi).
e.Dunia terpilah berdasarkan pembagian kerja global (dunia pertama pemasok kapital, dunia ketiga pemasok bahan baku dan tenaga kerja) dengan uang (dollar) perantara pertukaran tunggal untuk seluruh dunia.


Indonesia sebagai salah satu negara Dunia Ketiga sudah ditugaskan hanya sebagai penjaga agar “tidak terjadi perang saudara” di negeri-negeri di pusat pusaran kapitalisme. Dalam amatan Sritua Arif, tugas sebagai penjaga krisis kapitalisme di pusat formasi menjadikan kapitalisme Dunia Ketiga terjebak ke dalam bentuk kapitalisme rampok yang mewarisi corak kapitalisme kolonial yang tiada lain adalah anak jadah perkawinan antara kapitalisme murni dengan ragam produksi perupetian yang dihancurkan oleh penjajahan. Ragam produksi pra-kapitalis di Dunia Ketiga ternyata tidak hancur selebur-leburnya. Ruhnya masih gentayangan di antara praktik-praktik ekonomi kapitalisme sehingga penghisapan kapitalisme menjadi lebih ‘brutal’. Kapitalis-kapitalis pribumi yang akrab dengan elit-elit politik dalam sistem pemerintahan otoriter sebenarnya adalah kapitalis palsu yang keuntungannya bertumpu pada subsidi pemerintah. Sementara itu subsidi yang dikucurkan pemerintah berasal dari utang luar negeri yang pembayarannya ditanggung rakyat jelata lewat pemotongan subsidi kebutuhan pokok, pencabutan jaminan sosial, pencabutan subsidi pendidikan, dan sebagainya.
Gelombang perlawanan rakyat (di seluruh dunia) terhadap globalisasi neoliberal (imperialisme) juga semakin meningkat. Perangkat-perangkat globalisasi seperti IMF, Bank Dunia, WTO, Paris Club, AFTA, NAFTA, APEC, G8, dan sebagainya serta paket-paket kebijakan penyesuaian strukturalnya mulai terus menerus mendapat penolakan gerakan sosial internasional. Forum-forum dunia di mana para penggagas globalisasi neoliberal secara rutin bertemu dan membicarakan metode-metode pembagian dunia sesuai kebutuhan mereka, terus mendapatkan serangan-serangan demonstrasi massif.
Peristiwa Seattle 1999 yang menghabisi pertemuan World Economic Forum, pemberontakan Zapatista yang spektakuler pasca perang di Mexico adalah bukti riil bahwa tesis kemenangan neoliberalisme keliru. Gerakan sosial di dunia mulai bangkit kesadarannya terhadap kejahatan globalisasi neoliberal. Perlawananpun terus berlanjut di berbagai forum WTO, G8, APEC, AFTA dan sebagainya. Sejak saat itu slogan “Another World is Possible” begitu melekat dalam kesadaran gerakan sosial internasional. Berbagai forum sosial dunia menjadi ajang kampanye bagi kebutuhan sebuah dunia baru yang lebih baik, adil, maju dan manusiawi.
Dunia lain tersebut saat ini sedang diperjuangkan oleh gerakan sosial dan politik di seluruh dunia dengan berbagai metode dan strateginya. Musuh utamanya juga sudah semakin jelas, yakni kuasa kapitalisme dan turunannya, dan berpotensi menyatukan rakyat yang menjadi korban kejahatannya. Tanpa memandang agama, suku, wilayah dan bahasa, mayoritas rakyat sedunia sudah disatukan oleh penderitaan, kemiskinan, keterbelakangan, ketergantungan yang sama akibat dominasi kekuasaan modal yang merenggut harkat, martabat dan kemerdekaan umat manusia.

Di Indonesia, ilustrasi dapatkan adalah di Kalibening, Salatiga. Di sana masyarakatnya menyelenggarakan sekolah terbuka lewat Serikat Paguyuban Petani Qaryah Thayyibah yang menolak membayar pajak karena negara dianggap gagal mengakomodasi kepentingannya. Dengan mendirikan sekolah, tidak perlu lagi ada anak putus sekolah karena ketergantungan masyarakat terhadap negara ataupun pasar. Komunitas ini juga sedang melebarkan sayap melalui penyediaan kebutuhan masyarakat secara swadaya. Semakin banyaknya komunitas semacam ini akan menyelesaikan permasalahan masyarakat melalui aksi langsung. Selain itu, masyarakat Samin di Blora yang memegang teguh ajaran tetua pendiri desanya, menolak bersekolah di sekolah umum, tidak membuat KTP, dan menghindari keterlibatan dalam perekonomian modern juga layak dicermati sebagai metode perlawanan yang nyata ada dan berkembang di Indonesia. Aksi-aksi individu dan kolektif, dengan jargon antikonsumerisme, gerakan lingkungan dan lain-lain semakin marak dan ini menandakan bahwa ternyata ada secercah harapan menuju tatanan dunia baru, dunia tanpa dominasi tanpa hirarki tanpa penindasan. Semoga !

[Read more]

Posted in

“Saya tidak akan membiarkan diri saya jatuh dalam ketiadaan harapan, bagaimanapun berat situasinya. Saya yakin bila kau senantiasa melakukan hal yang kecil tanpa terpaku pada pemikiran yang besar-besar yang hendak kamu lawan, apabila kamu terus mengembangkan kemampuan sendiri, disitulah kekuatan baru akan muncul”
Vandana Shiva (Aktivis, fisikawan, ekolog dan editor).

Benarkah, tatanan dunia sudah hancur anakku?
Globalisasi adalah sebuah proses sosial yang “mengabaikan” geografi dan keadaan sosial budaya sebagai kemestian kemajuan teknologi-teknologi dan pembiakan korporasi-korporasi transnasional yang terjelma dalam kesadaran orang. Banyak orang memandang bahwa globalisasi adalah takdir Tuhan yang tidak dapat dihentikan. Berkahnya meliputi investasi, alih teknologi, jaringan internet, medornisasi dan kamakmuran.
Dilain pihak sebagian kalangan sangat prihatin dengan terhadap kecenderungan perkembangan ekonomi dunia yang semakin liar, dimana Negara-bangsa tidak dapat mengontrolnya. Bahkan tak jarang suatu Negara harus takluk pada kepentingan-kepentingan bisnis besar yang mampu mengalahkan undang-undang nasional (UU privatisasi air misalnya), perburuhan, dan kapitalisasi pendidikan (BHMN-BHP). Mereka meyakinkan pemerintah masing-masing Negara untuk mengubah undang-undang melalui jaringan organisasi ekonomi global, represi diplomatik sampai invasi militer.
Tidak heran jika Jemes Petras dan para pengkritik globalisasi mengatakan bahwa ada persamaan antara globalisasi dengan kolonilisasi.


Atas nama kemajuan, kemakmuran, terorisme, tatanan dunia baru yang aman raja-raja globalisasi yang berhimpun dalam himpunan setan: WTO (raja pasar), Bank dunia (raja Bank) dan IMF (raja rentenir).melakukan penetrasi dan ekspansi terhadap Negara-negara yang berdaulat.
Senada dengan hal di atas, Martin Manurung mengatakan bahwa Di tengah mitos globalisasi neoliberal yang katanya akan mengangkat dunia dari keterpurukan, jumlah orang miskin justru meningkat dari 800 juta orang pada tahun 1995 (ketika World Trade Organization/WTO didirikan), menjadi 850 juta pada tahun 2005.
Globalisasi telah membawa dunia pada jurang kemiskinan yang semakin dalam, sehingga 20 persen penduduk terkaya di dunia menguasai 86 persen total konsumsi dunia. Kelestarian lingkungan hidup pun memburuk dengan deforestasi mencapai 940.000 kilometer persegi di wilayah-wilayah termiskin dunia sejak 1990.
Inilah kenyataan globalisasi di mana Indonesia pun turut 'bermain' dengan mengaplikasikan kebijakan-kebijakan ekonomi neoliberal dengan pencabutan jaminan sosial melalui subsidi dan menjual semakin banyak sektor-sektor hajat hidup orang banyak kepada para pemodal dengan jargon 'pasar bebas'. Selain menghadapi desain internasional yang warnai dengan kekerasan struktural, bangsa kita juga diperhadapkan pada masalah masalah nasional yang tidak berujung dan selalu menimbulkan suasana ketidakpastian yaitu “transisi demokrasi”. Beberapa hal yang menjadi permasalahan dalam gelombang demokratisasi adalah Demokrasi diartikan sebagai bentuk pembukaan pasar domestik tanpa mempedulikan penguatan masyarakat sipil. Masyarakat barat yang memaksakan semua bangsa untuk menganut demokrasi liberal pasca runtuhnya komunisme.
Itulah wajah baru imperialisme, Sementara Imperialisme, adalah sebuah upaya pembangunan kekaisaran global (empire) melalui proses penaklukan, pendudukan, dan atau pengontrolan sumber-sumber daya alam di luar negeri. Pada masa sekarang ini, kalangan ilmuwan sosial progresif meyakini, Imperialisme merupakan motor penggerak sejarah yang sebenarnya. Dengan demikian, ada jurang lebar antara pengertian Republik dan Imperialisme. Jika keberhasilan Republik dinilai berdasarkan hubungan yang setara, tumbuh suburnya solidaritas sosial di kalangan anak-bangsa, maka kesuksesan imperialisme dihasilkan dari hubungan yang timpang dan dominatif.
Namun kenapa masih ada sekumpulan orang yang menganggap bahwa globalisasi adalah suatu takdir?. Sesuatu yang tidak bisa dilawan, pasrah menerima adalah perilaku yang seolah beradab. Disinilah kekuatan global, dimana proses globalisasi diawali dengan infiltrasi informasi. Sebagaimana kenyataan menguatnya dominasi atas teknologi informasi berdampak dengan fenomena bergesernya kuasa-kuasa yang tidak pernah dibayangkan sebelumnya. Bukan hanya Negara tidak bisa memberikan jaminan adanya kekuatan kontrol sosial dan perlindungan terhadap konstituennya, karena kuasa telah berpindah ke media. Bahkan standar kebenaran pun ditentukan oleh media. Hal sama pernah diungkapkan oleh Joseph Goebbels, propagandis NAZI mengatakan bahwa, “menguasai media berarti menguasai kebenaran, yang diperlukan hanyalah mengulang-uakabgnya,”. Dengan pola repetisi radikal, sebuah informasi bergerak dari data-data menjadi tanda-tanda yang dapat mencitrakan kekuatan. Dari tesis di atas dapat diketahui bahwa globalisasi hanyalah proses pencitraan melalui ragam tanda yang dikumpulkan dalam simulasi-simulasi kebenaran.Dalam kondisi demikian setiap nilai menjadi profane, tanda-tanda memiliki nilai yang sama dan nyaris tanpa manka mendalam. Selama semuanya dapat dimanfaatkan maka sejauh itu pula nilai-nilai apapun dapat diterima. Dalam kondisi inilah terjadi invasi (kolonisasi pengetahuan) yang selanjutnya berlanjut pada invasi ekonomi dimana bisnis hanyalah urusan laba, laba dan laba. Invasi budaya dan lain-lain. Karena globalisasi dangen kapitalismenya adalah isme yang paling banyak belajar atas perkembangan libido manusia. Dengan Teknologi Informasi dan ideologi pasar, kapitalisme menjarah setiap hak-hak bangsa yang berdaulat, budaya, air, tanah hingga hak menentukan nasib sendiri, lalu apa bedanya dengan kolonialisme ?. sementara kolonialisme hanya mengalirkan darah, mengucurkan airmata penderitaan, dan kehancuran.

Indonesia yang “baru”!
Setelah reformasi yang menumbangkan pucuk kekuasaan rejim Orba pada 1998, terjangan imperialisme semakin menjadi-jadi. Rejim-rejim paska reformasi kian menjadikan dirinya sebagai klien imperialis. Jika pada masa Orba, agen-agen imperialisme masih harus bernegosiasi dengan struktur kekuasaan yang relatif homogen, saat ini, justru rejim-rejim paska reformasi berusaha semampu mungkin mengikatkan dirinya pada agen-agen imperialisme itu. Jika pada masa Orba Imperialisme bekerja di bawah payung perang global melawan komunisme, di masa reformasi ini, Imperialisme bekerja di bawah atap perang global melawan terorisme. Akibatnya, bukannya membuka lembaran baru bagi kebangkitan kembali Republik, rejim di era transisi ini malah kian menghamba pada tuntutan-tuntutan negara imperial: obral murah perusahaan milik negara, mencabut sesegera mungkin subsidi untuk kebutuhan mendasar rakyat, atau bagaimana agar kekuatan buruh selekas-lekasnya dilucuti agar tidak mengganggu kelangsungan eksplotasi.
Dan, keberhasilan melayani kepentingan imperialis itu, dijadikan ukuran sukses tidaknya kinerja rejim masa transisi. Kata kuncinya, semakin terintegrasi semakin sukses. Misalnya, semakin banyak menjual perusahaan milik negara (BUMN), pertanda rejim baru ini sukses melaksanakan reformasi ekonomi. Semakin cepat mencabut subsidi kebutuhan pokok, semakin berbangga diri sebagai rejim paling konsisten. Semakin cepat membayar utang luar negeri, semakin merasa terhormat di mata negara imperial.
Fakta-fakta di atas tidak boleh membuat kaum muda melemah, inisiasi dan karya-karya kecil sebagaimana yang diutarakan Vandana Shiva di atas tidak boleh mandeg. Sepanjang sejarah perjuangan, kaum muda merupaka tokoh sentral dalam keberhasilannya. Di Indonesia sejak perebutan kemerdekaan hingga kini selalu dipelopori oleh kaum muda. Jika pemerintah tidak lagi berpihak pada rakyat, politik hanya milik kaum tua elitis, ketika pemerintah tidak lagi berbicara tentang perubahan maka kaum muda harus membentuk tradisi baru dan organisasi untuk menggulingkan kekuasaan kaum tua yang elitis dan arogan.
”Indonesia baru” sebenarnya Indonesia dalam visi para pendiri negeri ini. Bung Karno dan Bung Hatta, yang ditinggalkan ketika Indonesia memasuki arus ekonomi neoliberal. Kaum muda harus mempopulerkan gerakan solidaritas antar sesama korban ketidakadilan global, solidaritas tidak dibangun dengan jargon, tetapi lewat tindakan riil, termasuk ekonomi dan pemanfaatan teknologi untuk membangun kelembagaan lokal. Mengintenskan forum-forum diskusi dan pertemuan antar gerakan sebagai upaya transformasi ide yang secara internal, forum ini akan mendorong proses perubahan.
Neoliberalisme bukan tak bisa dilawan !!
"Sejarah jauh dari usai. Di masa depan, koeksistensi harmonis itu mungkin, bukan karena perang yang mencoba mendominasi yang lain, tapi karena cita-cita bersama, dan seiring dengan itu, harapan: harapan pertahanan hidup umat manusia, melawan neoliberalisme." ~Subcomandante Marcos~
Tidak ada kemajuan yang didapat sebuah negara dalam arus kapitalisme kecuali kehancuran ~Andito~.
Sistem kontrol global yang mengatur hingga jauh melampaui batas kewenangan dan teritorialnya akan menjadi tantangan tersendiri bagi munculnya kelas perlawanan yang tidak menginginkan adanya dominasi kepentingan terhadap ruang hidup.
Gerakan progresif sedunia melawan neoliberalisme menyerukan alternatif terhadap globalisasi neoliberal. Perlawanan itu datang dari gerakan negara-negara dunia ketiga yang tidak sepakat melihat harkat hidup orang banyak ditentukan oleh para korporat besar dan para elite yang berkumpul dalam WTO. Nasib orang-orang miskin tak boleh diperdagangkan sebagai trade-off dari liberalisasi perdagangan sebagaimana terjadi pada sidang-sidang tawar menawar di WTO.
Serangkaian perlawanan anti kapitalisme tersebut merupakan bantahan terhadap analisa Francis Fukuyama. Dalam The End of History, Fukuyama menyatakan bahwa akhir dari sejarah dunia adalah kapitalisme yang ditandai dengan jatuhnya Soviet dan runtuhnya Tembok Berlin di Eropa. Inilah kemenangan Demokrasi Liberal. Menurut Francis pula, hal ini pun ditandai dengan matinya Oposisi Politik terhadap Demokrasi Liberal yang saat ini tengah berjaya. Namun bukankah oposisi politik yang dimaksud Francis adalah oposisi terhadap kapitalisme yang justru sekarang ini semakin meningkat perlawanannya di berbagai belahan dunia?.
Memang kelompok-kelompok gerakan anti kapitalisme dalam saat ini masih dalam jumlah yang kecil dan masih bergerak sendiri-sendiri, terserak dan spontan namun gerakan anti kapitalisme itu terjadi di mana-mana, di berbagai negeri baik di Amerika Latin, Asia maupun di Eropa sendiri tempat kapitalisme tumbuh dan berkembang. Namun gerakan anti neoliberalisme harus mengekspose musuh bersama, membangun jaringan global dan membangun dialog global. Salah satunya dengan menggunakan jaringan media internet, mengingat hampir semua media-media elektronik dan cetak yang ada dikuasai oleh korporasi.
Gerakan anti Neoliberalisme seperti Zapatista dengan EZLNnya, yang berbasiskan para petani di Chiapas, Meksiko dan Greenpeace yang bergerak di lingkungan yang berpusat di Jerman, LPM (Landless Peoples Movement) yang berbasis rakyat tak bertanah di Afrika selatan, NBA (Narmada Bachao Andalon yang dimotori oleh kelompok aktivis yang kebanyakan berpenedidikan tinggi dan professional di India, AMAN (Aliansi Masyarakat Adat Nusantara) di Indonesia serta sejumlah perlawanan yang bersifat lokal dan berbasis komunitas seperti komunitas punk, subkultur dan lain-lain. Meskipun gerakan sosial melawan neoliberalisme ini belum mengglobal dan mengakar sebagaimana globalisasi-kapitalisme, namun harapan terwujudnya tatanan dunia yang lebih adil tak sepenuhnya sirna.

[Read more]

Posted in

Perbincangan kapitalisme global akan tetap hangat, dan seru. selain karena kapitalisme yang demikian kompleks dan rumit, ia juga mempunyai kemampuan memperbaharui diri dengan cepat.sehingga model, cara menghadapinya pun harus diperbaharui. sudah banyak kasus dimana kapitalisme mampu membalikkan mode-mode perlawanan menjadi penopang langgengnya kapitalisme.
postingan berikut bisa menjadi referensi.

Berhala globalisme dan kapitalisme global
DR. Dimitri Mahayana (Pengamat Sosial/Dosen Jurusan Teknik Elektro ITB)

Geger harga gabah akhir-akhir ini tidak lepas dari globalisasi yang memihak dan keinginan primordial kapitalisme Barat untuk mengakumulasikan the wealth of nations (kekayaan-kekayaan bangsa-bangsa) di seantero dunia untuk kepentingan their nations (bangsa-bangsa mereka). Skenarionya sederhana, mekanisme pasar bebas membuat mungkin bagi korporasi-korporasi multi nasional untuk merekayasa harga gabah turun. Bila harga gabah turun,petani Indonesia kalang kabut. Akhirnya terpaksa sebagian dari mereka berbondong-bondong mencari profesi lain. Di sini, berbagai Multi National
Corporation yang membutuhkan tenaga kerja murah dapat melakukan berbagai kegiatan manufakturnya di Indonesia dengan harga tenaga kerja yang teramat murah. Karena mereka telah memiliki supply calon tenaga kerja yang tidak mempunyai lagi pilihan dan bargaining position . Supply calon tenaga kerja dalam jumlah besar, akan mengikuti hukum kompensasi ala David Ricardo,para tenaga kerja mau tidak mau rela menerima upah yang di bawah KHM (Kebutuhan Hidup Minimal), hidup segan mati tak mau.

Apakah kita saat ini telah benar-benar merdeka? Dan apakah para penjajah dari Barat yang telah malang melintang menyedot seluruh kekayaan dunia dalam lima abad terakhir ini benar-benar kini telah sadar dan benar-benar secara hakiki menjadi orang yang paling beradab, bahkan menjadi pembela paling gigih dari Hak Azasi Manusia ? Benarkah mereka ingin memperjuangkan liberty, equality dan egality dalam arti yang sesungguhnya?

Pertanyaan pertama dapat dijawab dengan mudah, secara de jure kita telah lima puluh lima tahun merdeka. Namun secara de facto, jelas kita belum merdeka untuk menentukan nasib kita sendiri. Apabila di Jepang untuk proteksi petani dapat dibuat aturan pajak impor 400 % dari harga, kenapa untuk memperoleh pajak impor 40 % dari harga gula saja kita mesti mengemis-ngemis dulu ke pihak asing? Bagaimana pula dengan proteksi harga gabah, untuk kelangsungan kehidupan para petani kita?

Kini ide globalisme dengan proposisi utama “globalisasi meniscayakan ketidakmungkinan kita untuk menolak keterkaitan global, nilai-nilai global dan kepentingan global” telah menjadi suatu hegemoni. Sebuah hegemoni,menurut Antonio Gramsci, membuat pihak-pihak yang sebenarnya terjajah malahan mengakui superioritas yang menjajah, dan secara sukarela membiarkan diri mereka dijajah. Selain itu , malahan hegemoni membuat pihak yang terjajah mati-matian mempertahankan kepentingan para penjajah.

Ada empat serangkai yang menciptakan hegemoni kapitalisme global.Pertama, korporasi-korporasi raksasa dunia yang kapitalis , paling tidak demikianlah menurut David C. Korten, dalam “When Corporations Rule The World”. Dalam simbolisme agama, ini disimbolkan oleh Qarun. Kedua, para penguasa dunia, dalam hal ini adalah Amerika Serikat dan beberapa negara Eropa yang terkait. Dalam simbolisme agama, ini disimbolkan oleh Fir’aun.Ketiga, para teknokrat, yakni yang telah merancang berbagai sistem globalisme untuk dan demi kepentingan Barat. Sistem ini mengandung PBB dengan Dewan Keamanannya, yang sering bertindak sangat tidak adil.Bandingkan misalnya masalah Kashmir yang sudah lima puluh tahun dengan referendum Timor Timur yang baru lalu. Sistem ini juga mengandung World Bank, IMF, jaringan bank-bank besar di Barat. Uang-uang yang dikumpulkan melewati para penindas di seluruh negara dunia ketiga melewati Bank Swiss misalnya, akan dipinjamkan lagi menjadi utang-utang yang mengikat dan akhirnya merampas kemerdekaan bangsa-bangsa dunia ketiga. Demikian juga uang-uang yang dikumpulkan melalui berbagi perusahaan asuransi tingkat dunia. Agama (khususnya Islam) telah memperingatkan ; haramnya riba . Demikianlah Tuhan Yang Maha Kasih sebenarnya melindungi ummat dan masyarakat dari penjajahan dan perbudakan dan ketergantungan , yang merupakan sifat hakiki dan akibat langsung dari riba. Hak Kreatifitas Intelektual , - suatu hukum global baru yang sampai diperjuangkan mati-matian oleh Bill Clinton dalam konferensi APEC di Bogor 1994- telah berubah menjadi alat teknokrat globalisme yang kurang masuk di akal. Tempe telah dipatenkan di Amerika , sehingga bila kita akan mengekspor tempe ke Amerika kita mesti ijin kepada yang memiliki patennya dan membayar hak ciptanya. Demikian pula batik Pekalongan dan karya-karya seni yang demikian hebat dari Bali, - si Pulau Dewata yang memiliki kekayaan antropologis tak terhingga. Para teknokrat ini , dalam simbolisme agama,adalah Haman sang teknokrat.
Kelengkapan dari empat serangkai yang menegakkan hegemoni kapitalisme global adalah para intelektual. Dalam simbolisme agama ini adalah Bal’am,yang merupakan figur ulama yang memihak para penindas. Dikembangkan secara besar-besaran wacana-wacana yang memandang dunia dan masyarakat yang penuh kebinekaan ini dengan kacamata tunggal. Yakni globalisasi. Toffler, Naisbitt, Ohmae, dan banyak pemikir lain. Globalisasi, dalam arti lenyapnya batas-batas antar negara, dianggap sebagai keniscayaan alamiah yang tidak pernah mungkin dapat ditolak lagi. Sebagaimana air jatuh ke bumi karena ditarik gravitasi bumi, teknologi modern, - khususnya -,teknologi informasi dan komunikasi menjebol batas-batas antar negara.Tidak ada lagi kendali pemerintah atas segala hal di masyarakatnya. Para pemikir dan intelektual mengeluarkan serangkaian teori-teori dan pandangan yang seolah-olah tidak memiliki alternatif lain.
Teori pertama, bahwa ekonomi global akan dan pasti akan mengatasi seluruh halangannya, baik halangan politis, geografis dan lain-lain. Tidak mungkin sama sekali untuk memiliki “keragaman ekonomi”, dan berani “berbeda” dengan “ekonomi global”. Amerika Serikat dan para pendukungnya, - melalui WTO-, menekan seluruh negara untuk melakukan liberalisasi ekonomi. Dan mereka merasa berhak untuk marah besar kepada Mahathir Mohammad yang menolak menandatangani kebebasan berinvestasi 100 % bagi para investor asing. Salah satu ungkapan yang menjadi dalil bagi orang para pendukung wacana ini adalah seperti, “ runtuhnya tembok Berlin menunjukkan, kekuatan politik apa pun akan tunduk pada kepentingan ekonomi (global).”
Teori kedua, bahwa satu-satunya sistem yang cocok bagi seluruh ummat manusia di dunia adalah sistem pasar bebas . Pasar bebas harus
direalisasikan di seluruh negara. Dipercaya bahwa bila pasar bebas ini
terjadi akan ada “tangan-tangan gaib” (invisible hands) yang membuat
mekanisme pasar memberikan yang terbaik untuk masyarakat manusia di dunia. Setidaknya demikianlah konsep pasar bebas kapitalis yang diilhami oleh “The Wealth of Nation” dari Adam Smith.

Teori ketiga, teori-teori desentralisasi, deinstitusionalisasi, dan berbagai dugaan-dugaan managerial yang diangkan menjadi satu trend niscaya yang mesti diikuti. Otonomi perguruan tinggi misalnya, adalah satu dari agenda desentralisasi ini. Dan apakah otonomi perguruan tinggi , yang juga merupakan permintaan langsung pihak “global” pada Indonesia, tidak malah akan mengorbankan “modal intelektual” perguruan-perguruan tinggi Indonesia di altar ketergantungan pada pihak-pihak asing yang tentu siap memberikan “dana-bersyarat” pada mereka?

Keempat serangkai ini, korporasi-korporasi raksasa dunia, para penguasa dunia (bangsa adidaya), sistem –sistem perekayasa dunia (mulai dari Bank-Bank kelas dunia hingga Hak Kreatifitas Intelektual) maupun para intelektual, telah berhasil mendirikan hegemoni global kapitalisme dunia.Hegemoni memiliki pengaruh yang kuat sehingga, kita bisa melihat berbagai dampaknya dalam fraktal-fraktal kasus-kasus di bawah ini;


Hegemoni budaya, dengan segala seginya (TV, media massa dll) dapat
dilihat dengan hancurnya budaya-budaya lokal secara amat cepat. Generasi muda kita jauh lebih mengenal Michael Learns To Rock dan Backstreet Boys ketimbang tembang Ilir-Ilir, lagu – lagu kawih Sunda, dan berbagai kebudayaan – kebudayaan daerah kita yang memiliki nilai seni amat tinggi. Kaum Muslim Melayu kini lebih akrab dengan tulisan latin dan bahasa Inggris, ketimbang huruf Arab-Melayu (pego) dan bahasa Arab. Gerald Celente, pendiri Trends Research Institute, dalam bukunya “Trends 2000” menjelaskan bahwa bahasa Inggris mencapai daya jangkau yang tidak pernah dicapai oleh bahasa apa pun di dunia, dan kenyataan ini memberikan suatu kekuatan budaya yang tidak ternilai bagi bangsa Amerika.

Hegemoni ras barat terhadap kulit berwarna, yang dapat dilihat dari
banyaknya kasus perbedaan gaji yang luar biasa antara kulit putih maupun orang asing dengan orang Indonesia asli. Kasus PAM Jaya yang cukup merebak dengan gaji orang-orang asing di sana mencapai angka hampir duaratus juta rupiah sebulan, dan gaji karyawan pribumi Indonesia hanya seperdelapanpuluhnya atau bahkan seperduaratusnya menunjukkan suatu hal; dalam hegemoni ras Barat, persamaan memiliki arti “perbedaan gaji sampai skala ratusan untuk pekerjaan yang nilai keahliannya hampir sama harus dapat diterima, bila orang Barat lah yang memperoleh gaji ratusan kali orang pribumi Indonesia”.

Hegemoni ekonomi global. Dalam upaya pemerintah saat ini untuk mengamankan ekonomi nasional, ada kesan pemerintah lebih fasih untuk melayani kepentingan ekonomi “global” yang merepresentasikan orang-orang asing ketimbang kepentingan rakyatnya. Kekuatan ekonomi asing ikut campur menentukan kenaikan harga listrik dan BBM. Mereka pun ikut campur dalam proteksi petani , padahal bangsa kita yang kebanyakan adalah petani. Tidak bisakah kita mandiri? Dalam memahami diri kita sendiri? Kekuatan ekonomi kita? Kekuatan sosial budaya kita? Tidakkah kita mesti mencontoh Malaysia dalam hal bagaimana ia dapat mempertahankan dirinya dalam krisis global 1997, yang amat mungkin merupakan strategi kekuatan kapitalisme global (salah satunya Soros) untuk menguasai seluruh “resources” di seantero dunia?


Untuk memahami hegemoni ekonomi global ini , beberapa hal berikut dapat
direnungi.Apa yang telah dilakukan oleh orang-orang Barat selama tiga ratus tahun terakhir ini pada orang-orang Afrika? Selama perioda 350 tahun populasi Afrika tetap tidak berkembang dalam jumlah, sedangkan populasi dunia meningkat empat hingga lima kali. Masih terekam dalam kenangan kita,kapal-kapal , “yang mungkin lebih layak untuk mengangkut binatang”, yang mengangkut mereka untuk diperbudak di Amerika, 15-20 % diantaranya mati ditengah jalan . Di tambang-tambang mereka mesti bekerja amat keras , 12 hingga 16 jam sehari, sedangkan yang selain mereka hanya 8 jam sehari.

Gerakan anti perbudakan, - mungkin adalah salah satu jasa Abraham Lincoln-, tapi mengapa gerakan ini berhasil? Ketulusan orang-orang Barat untuk mendukung gerakan anti perbudakan hingga sekarang “tidak ada lagi” perbudakan kurang dapat diterima, karena momen Revolusi Industri membuat perbudakan tidak lagi efisien. Apakah perbudakan dihapuskan karena nilai-nilai manusiawi, ataukah demi efisiensi, merupakan suatu hal yang masih dapat diteliti lebih lanjut dalam sejarah. Kenyataan seorang petenis besar Barat memperoleh berbagai masalah karena beristrikan seorang kulit hitam, masih dapat kita lihat dalam kenyataan kontemporer masa kini. Dalam perang dunia kedua, Perancis menggunakan 200.000 tentara Afrika yang berperang di pihak Perancis. Sedangkan orang-orang Eropa itu sendiri jarang pergi ke front-front peperangan. Kemakmuran apa yang ditinggalkan oleh orang Eropa dan Amerika dalam era pasca-perbudakan di Afrika?

Data-data (tahun 80-an) menunjukkan , rata-rata penghasilan per kapita di negara “maju” (seperti Amerika) rata-rata US $ 4,000, sedangkan di Afrika US $ 140. Kongo misalnya, US$ 52 , bahkan Chad lebih kecil dari itu.Dalam hal konsumsi: konsumsi besi dan baja per orang di Amerika adalah 700 kg, sedangkan di Ethiopia, - sebuah negara yang sudah lama berperadaban-,besi dan baja hanya 2 kg per orang. Sepeninggal orang-orang Eropa dan Amerika, Afrika tak lebih adalah dataran tandus yang dipenuhi berbagai wabah dan kelaparan. Tembaga, berlian, emas, batu bara dan minyak Afrika pergi ke Eropa. Produk-produk industri Afrika yang baik dijual di pasar-pasar Eropa. Sesungguhnya kegemerlapan peradaban Amerika dan Eropa berdiri di atas darah orang-orang Afrika (juga Asia dan Amerika Latin).

Apa yang kini terjadi dalam kasus Freeport, telah 1000 trilyun rupiah
lebih nilai barang tambang kita, - tanpa “sepeser”pun dinikmati oleh
saudara kita di Irian-, telah diangkut untuk membangun peradaban Barat.
Apa yang terjadi di perusahaan, seperti sepatu Nike: tenaga kerja dibayar amat murah untuk produksi sepatu Nike, tapi dengan aturan aneh, pabrik tidak boleh menjual langsung di pasaran nasional. Semua harus dijual dengan harga kira-kira US $ 10 ke korporasi global Nike. Dan korporasi itu akan menjualnya ke seluruh dunia dengan harga yang berlipat-lipat (mungkin lebih dari sepuluh kali lipat hingga dua puluh kali lipat). Berapapun keuntungan PT Nike, - juga Michael Jordan yang memperoleh ratusan milyar bahkan trilyunan untuk mempromosikannya-, para buruh Indonesia di JABOTABEK hanya sekedar mempertahankan kulitnya menempel di tulang, -menerima gaji yang kurang lebih tak lebih sekedar UMR yang sangat mungkin memiliki nilai di bawah Kebutuhan Hidup Minimal. Kini Barat telah memperluas Afrika lama mereka menjadi Afrika, Asia dan Amerika Latin, dan karena Afrika tinggallah menjadi seonggok bangsa yang berebutan hidup di tanah tandus, Asia menjadi pilihan yang paling empuk.

Bagaimana cara orang-orang Barat dan kekuatan hegemoni global menguasai
dan merampas kedaulatan bangsa-bangsa Dunia Ketiga? Negara-negara besar seperti Cina, India, Indonesia, Afrika Barat, Mesir jatuh ke dalam jebakan ekonomi mereka. Statistik pada tahun 80- an menunjukkan utang negara-negara dunia ketiga pada mereka menjapai US $ 700 milyar
(kira-kira Rp 5.000 trilyun). Amerika Latin saja mencapai US $ 350 milyar.Dengan bunga 10 atau 5 % saja, berapakah mereka mesti membayar “bunga” hutang sebesar itu ? Sebuah negara seperti Brasil yang memiliki utang lebih dari US $ 80 milyar, mesti membayar US $ 8 milyar sebagai bunga pertahun bila bunganya 10 %. Maka kapan negara itu akan bisa berdiri di atas kakinya sendiri ? Pada tahun 1863 Tunisia meminjam 5,5 juta Franc dari perancis. Untuk sebuah kapal perang lama, kapal-kapal dan gaji staf-stafnya Perancis men-charge 3,5 juta Franc. Kapal ini ternyata tidak pernah digunakan, apalagi memberikan manfaat pada rakyat Tunis. Telah dicatat bahwa dalam tujuh tahun, hingga tahun 1870, utang Tunisia mencapai 350 juta Franc. Hasilnya? Tunisia tidak mampu membayar hutang itu. Sebagai konsekuensinya, Itali, Perancis dan Inggris membuat komisi bersama , dan setelah itu mereka ikut campur dalam menangani ekonomi Tunisia sebagai “Tunisia’s economic guardian”. Bagaimana dengan Maroko, dengan 67 million Frank mereka melakukan hal yang sama kepada Maroko. Dicatat pula dalam sejarah, utang Mesir pada saat itu (1863-1876) berlipat tiga puluh kali.

Orang-orang Barat menawarkan proyek-proyek mega yang berteknologi
tinggi, - yang sering kali tidak sesuai dengan kebutuhan masyarakat dunia ketiga. Kemudian mereka menawarkan pinjaman. Dengan sistem riba yang merupakan sifat esensial dari pinjaman ini, mereka menguasai dan
mengontrol negara-negara dunia ketiga. Sungguh, sekiranya orang-orang
menolak sistem bank dengan riba ini, - sebagaimana perintah Tuhan dalam
Islam-, mereka tidak akan terjebak dalam jebakan ekonomi Barat ini.
Bagaimana Soros mulai menanamkan kapitalnya di Astra dan mungkin akan
segera diikuti oleh berbagai perusahaan lain di Indonesia, - hal seperti inilah yang diinginkan oleh Barat. Yakni mengendalikan berbagai sumber kekayaan di seantero dunia, untuk kejayaan ras kulit putih dan lebih spesifik lagi korporasi-korporasi mereka. Semangat dan spiritnya nampak persis dengan semangat kolonialisma. Namun kini jauh lebih lembut, tidak kentara dan jauh lebih kejam. Hegemoni global yang telah dibangun ,setidaknya saat ini, berhasil dengan gemilang.

Mungkin kita dapat belajar dari kehidupan serangga, - sebagaimana dalam
AntZ dan A bug’s life. Ada sejenis serangga yang besarnya di antara lalat dan lebah. Serangga ini pada saat bertelur mematuk sejenis ulat, sehingga ulat tersebut pingsan. Ulat tersebut dibuat tidak mati, namun hiduppun tidak. Ketika telur-telur ini menetas, anak-anak serangga itu ramai-ramai memakan ulat yang sedang pingsan tersebut, tanpa merasa dosa sedikitpun, karena mereka tidak mengetahui (tidak melihat sendiri) saat ulat tersebut dipatuk. Ketika anak-anak serangga itu sudah besar dan mau bertelur,mereka mengulangi siklus yang sama. Benarkah bahwa kapitalisme global itu adalah sang serangga ; dan benarkah bahwa kita semua di dunia ketiga adalah ulat yang dipatuk,- yang dibuat hidup segan mati tak mau- yakni dipertahankan sebagai mediocre . Kapitalisme global tidak ingin membunuh Indonesia, karena mereka membutuhkan Indonesia , sebagai sumber berbagai resource dan kemakmuran (baik tambang dan hal-hal alamiah maupun tenaga kerja murah) dan juga sebagai pasar yang luar biasa yang bisa membeli barang-barang produk mereka. Namun para kapitalis global juga tidak pernah akan merelakan Indonesia – dan negara dunia ketiga- menjadi semakin kuat dan menyaingi mereka: krisis Asia yang terjadi secara amat mendadak dan terasa tidak alamiah mungkin adalah rancangan dari para kapitalis global ini. Tengok pula kasus Jepang yang ditekan oleh Amerika hanya karena ia melakukan proteksi terhadap ekonomi nasionalnya yang menguat terus.

Semoga para wakil rakyat (MPR) yang sedang melakukan amandemen, dapat
memikirkan secara lebih bijak perlunya membuat pasal-pasal UUD baru yang lebih terperinci, yang lebih memperhatikan wacana-wacana globalisme dan globalisasi secara lebih luas dan tidak terjebak pada rancangan-rancangan kekuatan ketamakan global. Proteksi pada pertanian yang membuat kita mandiri dan tidak tergantung sama sekali ke pihak asing dalam hal makanan merupakan hal yang selayaknya dituangkan dalam UUD. Proteksi pada kepentingan-kepentingan nasional lain: membuat pasal-pasal yang menjadi fundamen kokoh bagi ekonomi nasional yang memihak pada yang lemah dan tidak membeo pada ideologi hegemoni pasar bebas juga selayaknya dipertimbangkan. Keberpihakan pada yang lemah yang merupakan spirit masyarakat beragama di Indonesia perlu diwujudkan dalam pasal-pasal yang nyata dan jelas dan tidak ambigu: % yang jelas bagi anggaran Pendidikan, kesanggupan pemerintah untuk menjamin biaya pendidikan masyarakat sampai tingkat tertentu, proteksi pada sumber-sumber daya alam dengan prioritas pada penduduk setempat, proteksi pada inisiatif-inisiatif pemberdayaan masyarakat yang benar-benar berdasar pada kepentingan masyarakat, bukan pada kepentingan asing. MPR juga perlu memikirkan secara serius pendistribusian wewenang, sehingga semua hal tidak tertumpu hanya pada presiden. Kompleksitas permasalahan untuk menghadapi kapitalisme global membuat terlalu riskan menumpukannya hanya pada presiden. Tidak ada salahnya misalnya, media massa seperti TV, Radio dan Koran langsung ada di bawah kendali MPR . Apakah kita akan terus menjadi “budak-budak” sebagaimana “budak-budak Afrika dahulu, ataukah merdeka dan dapat hidup layak sebagai bangsa yang merdeka, tergantung pada mereka,- para wakil yang menerima amanat dari rakyat. Bila para wakil rakyat dan pemerintah kembali kepada taqwa, menegakkan sistem yang Adil dan berpihak pada para dhu`afa dengan niat lillahi ta’ala, dan kembali pada jati diri masyarakat kita sendiri dalam menentukan berbagai kebijakan, seraya membebaskan diri dari berhala globalisme , insya Allah, Tuhan akan menolong bangsa kita dan
membimbingnya menuju masyarakat yang adil dan menyempurna. Dalam keadaan yang demikian rumit ini, tidak ada harapan dan daya lain bagi bangsa kita kecuali kembali kepada Allah, seraya memohon pertolongan dan petunjuk Nya. Niscaya, akan kita temui bahwa Allahlah sebaik-baik penolong.

[Read more]

Posted in Label:

 
WE WILL GO DOWN