“Saya tidak akan membiarkan diri saya jatuh dalam ketiadaan harapan, bagaimanapun berat situasinya. Saya yakin bila kau senantiasa melakukan hal yang kecil tanpa terpaku pada pemikiran yang besar-besar yang hendak kamu lawan, apabila kamu terus mengembangkan kemampuan sendiri, disitulah kekuatan baru akan muncul”
Vandana Shiva (Aktivis, fisikawan, ekolog dan editor).

Benarkah, tatanan dunia sudah hancur anakku?
Globalisasi adalah sebuah proses sosial yang “mengabaikan” geografi dan keadaan sosial budaya sebagai kemestian kemajuan teknologi-teknologi dan pembiakan korporasi-korporasi transnasional yang terjelma dalam kesadaran orang. Banyak orang memandang bahwa globalisasi adalah takdir Tuhan yang tidak dapat dihentikan. Berkahnya meliputi investasi, alih teknologi, jaringan internet, medornisasi dan kamakmuran.
Dilain pihak sebagian kalangan sangat prihatin dengan terhadap kecenderungan perkembangan ekonomi dunia yang semakin liar, dimana Negara-bangsa tidak dapat mengontrolnya. Bahkan tak jarang suatu Negara harus takluk pada kepentingan-kepentingan bisnis besar yang mampu mengalahkan undang-undang nasional (UU privatisasi air misalnya), perburuhan, dan kapitalisasi pendidikan (BHMN-BHP). Mereka meyakinkan pemerintah masing-masing Negara untuk mengubah undang-undang melalui jaringan organisasi ekonomi global, represi diplomatik sampai invasi militer.
Tidak heran jika Jemes Petras dan para pengkritik globalisasi mengatakan bahwa ada persamaan antara globalisasi dengan kolonilisasi.


Atas nama kemajuan, kemakmuran, terorisme, tatanan dunia baru yang aman raja-raja globalisasi yang berhimpun dalam himpunan setan: WTO (raja pasar), Bank dunia (raja Bank) dan IMF (raja rentenir).melakukan penetrasi dan ekspansi terhadap Negara-negara yang berdaulat.
Senada dengan hal di atas, Martin Manurung mengatakan bahwa Di tengah mitos globalisasi neoliberal yang katanya akan mengangkat dunia dari keterpurukan, jumlah orang miskin justru meningkat dari 800 juta orang pada tahun 1995 (ketika World Trade Organization/WTO didirikan), menjadi 850 juta pada tahun 2005.
Globalisasi telah membawa dunia pada jurang kemiskinan yang semakin dalam, sehingga 20 persen penduduk terkaya di dunia menguasai 86 persen total konsumsi dunia. Kelestarian lingkungan hidup pun memburuk dengan deforestasi mencapai 940.000 kilometer persegi di wilayah-wilayah termiskin dunia sejak 1990.
Inilah kenyataan globalisasi di mana Indonesia pun turut 'bermain' dengan mengaplikasikan kebijakan-kebijakan ekonomi neoliberal dengan pencabutan jaminan sosial melalui subsidi dan menjual semakin banyak sektor-sektor hajat hidup orang banyak kepada para pemodal dengan jargon 'pasar bebas'. Selain menghadapi desain internasional yang warnai dengan kekerasan struktural, bangsa kita juga diperhadapkan pada masalah masalah nasional yang tidak berujung dan selalu menimbulkan suasana ketidakpastian yaitu “transisi demokrasi”. Beberapa hal yang menjadi permasalahan dalam gelombang demokratisasi adalah Demokrasi diartikan sebagai bentuk pembukaan pasar domestik tanpa mempedulikan penguatan masyarakat sipil. Masyarakat barat yang memaksakan semua bangsa untuk menganut demokrasi liberal pasca runtuhnya komunisme.
Itulah wajah baru imperialisme, Sementara Imperialisme, adalah sebuah upaya pembangunan kekaisaran global (empire) melalui proses penaklukan, pendudukan, dan atau pengontrolan sumber-sumber daya alam di luar negeri. Pada masa sekarang ini, kalangan ilmuwan sosial progresif meyakini, Imperialisme merupakan motor penggerak sejarah yang sebenarnya. Dengan demikian, ada jurang lebar antara pengertian Republik dan Imperialisme. Jika keberhasilan Republik dinilai berdasarkan hubungan yang setara, tumbuh suburnya solidaritas sosial di kalangan anak-bangsa, maka kesuksesan imperialisme dihasilkan dari hubungan yang timpang dan dominatif.
Namun kenapa masih ada sekumpulan orang yang menganggap bahwa globalisasi adalah suatu takdir?. Sesuatu yang tidak bisa dilawan, pasrah menerima adalah perilaku yang seolah beradab. Disinilah kekuatan global, dimana proses globalisasi diawali dengan infiltrasi informasi. Sebagaimana kenyataan menguatnya dominasi atas teknologi informasi berdampak dengan fenomena bergesernya kuasa-kuasa yang tidak pernah dibayangkan sebelumnya. Bukan hanya Negara tidak bisa memberikan jaminan adanya kekuatan kontrol sosial dan perlindungan terhadap konstituennya, karena kuasa telah berpindah ke media. Bahkan standar kebenaran pun ditentukan oleh media. Hal sama pernah diungkapkan oleh Joseph Goebbels, propagandis NAZI mengatakan bahwa, “menguasai media berarti menguasai kebenaran, yang diperlukan hanyalah mengulang-uakabgnya,”. Dengan pola repetisi radikal, sebuah informasi bergerak dari data-data menjadi tanda-tanda yang dapat mencitrakan kekuatan. Dari tesis di atas dapat diketahui bahwa globalisasi hanyalah proses pencitraan melalui ragam tanda yang dikumpulkan dalam simulasi-simulasi kebenaran.Dalam kondisi demikian setiap nilai menjadi profane, tanda-tanda memiliki nilai yang sama dan nyaris tanpa manka mendalam. Selama semuanya dapat dimanfaatkan maka sejauh itu pula nilai-nilai apapun dapat diterima. Dalam kondisi inilah terjadi invasi (kolonisasi pengetahuan) yang selanjutnya berlanjut pada invasi ekonomi dimana bisnis hanyalah urusan laba, laba dan laba. Invasi budaya dan lain-lain. Karena globalisasi dangen kapitalismenya adalah isme yang paling banyak belajar atas perkembangan libido manusia. Dengan Teknologi Informasi dan ideologi pasar, kapitalisme menjarah setiap hak-hak bangsa yang berdaulat, budaya, air, tanah hingga hak menentukan nasib sendiri, lalu apa bedanya dengan kolonialisme ?. sementara kolonialisme hanya mengalirkan darah, mengucurkan airmata penderitaan, dan kehancuran.

Indonesia yang “baru”!
Setelah reformasi yang menumbangkan pucuk kekuasaan rejim Orba pada 1998, terjangan imperialisme semakin menjadi-jadi. Rejim-rejim paska reformasi kian menjadikan dirinya sebagai klien imperialis. Jika pada masa Orba, agen-agen imperialisme masih harus bernegosiasi dengan struktur kekuasaan yang relatif homogen, saat ini, justru rejim-rejim paska reformasi berusaha semampu mungkin mengikatkan dirinya pada agen-agen imperialisme itu. Jika pada masa Orba Imperialisme bekerja di bawah payung perang global melawan komunisme, di masa reformasi ini, Imperialisme bekerja di bawah atap perang global melawan terorisme. Akibatnya, bukannya membuka lembaran baru bagi kebangkitan kembali Republik, rejim di era transisi ini malah kian menghamba pada tuntutan-tuntutan negara imperial: obral murah perusahaan milik negara, mencabut sesegera mungkin subsidi untuk kebutuhan mendasar rakyat, atau bagaimana agar kekuatan buruh selekas-lekasnya dilucuti agar tidak mengganggu kelangsungan eksplotasi.
Dan, keberhasilan melayani kepentingan imperialis itu, dijadikan ukuran sukses tidaknya kinerja rejim masa transisi. Kata kuncinya, semakin terintegrasi semakin sukses. Misalnya, semakin banyak menjual perusahaan milik negara (BUMN), pertanda rejim baru ini sukses melaksanakan reformasi ekonomi. Semakin cepat mencabut subsidi kebutuhan pokok, semakin berbangga diri sebagai rejim paling konsisten. Semakin cepat membayar utang luar negeri, semakin merasa terhormat di mata negara imperial.
Fakta-fakta di atas tidak boleh membuat kaum muda melemah, inisiasi dan karya-karya kecil sebagaimana yang diutarakan Vandana Shiva di atas tidak boleh mandeg. Sepanjang sejarah perjuangan, kaum muda merupaka tokoh sentral dalam keberhasilannya. Di Indonesia sejak perebutan kemerdekaan hingga kini selalu dipelopori oleh kaum muda. Jika pemerintah tidak lagi berpihak pada rakyat, politik hanya milik kaum tua elitis, ketika pemerintah tidak lagi berbicara tentang perubahan maka kaum muda harus membentuk tradisi baru dan organisasi untuk menggulingkan kekuasaan kaum tua yang elitis dan arogan.
”Indonesia baru” sebenarnya Indonesia dalam visi para pendiri negeri ini. Bung Karno dan Bung Hatta, yang ditinggalkan ketika Indonesia memasuki arus ekonomi neoliberal. Kaum muda harus mempopulerkan gerakan solidaritas antar sesama korban ketidakadilan global, solidaritas tidak dibangun dengan jargon, tetapi lewat tindakan riil, termasuk ekonomi dan pemanfaatan teknologi untuk membangun kelembagaan lokal. Mengintenskan forum-forum diskusi dan pertemuan antar gerakan sebagai upaya transformasi ide yang secara internal, forum ini akan mendorong proses perubahan.
Neoliberalisme bukan tak bisa dilawan !!
"Sejarah jauh dari usai. Di masa depan, koeksistensi harmonis itu mungkin, bukan karena perang yang mencoba mendominasi yang lain, tapi karena cita-cita bersama, dan seiring dengan itu, harapan: harapan pertahanan hidup umat manusia, melawan neoliberalisme." ~Subcomandante Marcos~
Tidak ada kemajuan yang didapat sebuah negara dalam arus kapitalisme kecuali kehancuran ~Andito~.
Sistem kontrol global yang mengatur hingga jauh melampaui batas kewenangan dan teritorialnya akan menjadi tantangan tersendiri bagi munculnya kelas perlawanan yang tidak menginginkan adanya dominasi kepentingan terhadap ruang hidup.
Gerakan progresif sedunia melawan neoliberalisme menyerukan alternatif terhadap globalisasi neoliberal. Perlawanan itu datang dari gerakan negara-negara dunia ketiga yang tidak sepakat melihat harkat hidup orang banyak ditentukan oleh para korporat besar dan para elite yang berkumpul dalam WTO. Nasib orang-orang miskin tak boleh diperdagangkan sebagai trade-off dari liberalisasi perdagangan sebagaimana terjadi pada sidang-sidang tawar menawar di WTO.
Serangkaian perlawanan anti kapitalisme tersebut merupakan bantahan terhadap analisa Francis Fukuyama. Dalam The End of History, Fukuyama menyatakan bahwa akhir dari sejarah dunia adalah kapitalisme yang ditandai dengan jatuhnya Soviet dan runtuhnya Tembok Berlin di Eropa. Inilah kemenangan Demokrasi Liberal. Menurut Francis pula, hal ini pun ditandai dengan matinya Oposisi Politik terhadap Demokrasi Liberal yang saat ini tengah berjaya. Namun bukankah oposisi politik yang dimaksud Francis adalah oposisi terhadap kapitalisme yang justru sekarang ini semakin meningkat perlawanannya di berbagai belahan dunia?.
Memang kelompok-kelompok gerakan anti kapitalisme dalam saat ini masih dalam jumlah yang kecil dan masih bergerak sendiri-sendiri, terserak dan spontan namun gerakan anti kapitalisme itu terjadi di mana-mana, di berbagai negeri baik di Amerika Latin, Asia maupun di Eropa sendiri tempat kapitalisme tumbuh dan berkembang. Namun gerakan anti neoliberalisme harus mengekspose musuh bersama, membangun jaringan global dan membangun dialog global. Salah satunya dengan menggunakan jaringan media internet, mengingat hampir semua media-media elektronik dan cetak yang ada dikuasai oleh korporasi.
Gerakan anti Neoliberalisme seperti Zapatista dengan EZLNnya, yang berbasiskan para petani di Chiapas, Meksiko dan Greenpeace yang bergerak di lingkungan yang berpusat di Jerman, LPM (Landless Peoples Movement) yang berbasis rakyat tak bertanah di Afrika selatan, NBA (Narmada Bachao Andalon yang dimotori oleh kelompok aktivis yang kebanyakan berpenedidikan tinggi dan professional di India, AMAN (Aliansi Masyarakat Adat Nusantara) di Indonesia serta sejumlah perlawanan yang bersifat lokal dan berbasis komunitas seperti komunitas punk, subkultur dan lain-lain. Meskipun gerakan sosial melawan neoliberalisme ini belum mengglobal dan mengakar sebagaimana globalisasi-kapitalisme, namun harapan terwujudnya tatanan dunia yang lebih adil tak sepenuhnya sirna.

Posted in

 
WE WILL GO DOWN