Syarat peserta
1.Peserta adalah kaum terdidik/mahasiswa yang bersedia menjadi bagian dari upaya global melawan neoliberalisme-kapitalisme global.
2.Membuat makalah minimal satu tulisan orisinal baik yang pernah dipublikasikan maupun yang belum dipublikasikan. Tulisan sebaiknya dikirim secepat mungkin kepada tim steering di sekretariat BEM UNM atau via e-mail: advanced_t@ yahoo.com paling lambat 5 hari sebelum pelaksanaan pelatihan.
3.Membuat makalah atau draft makalah/essai minimal 5 dari seluruh materi Advanced Training, diserahkan ke Tim Steering Commiteee (SC) dalam bentuk disket (file) dan print out. Makalah dan atau draft makalah dibawa serta pada saat mengikuti wawancara dengan tim steering committee. Makalah ini akan disempurnakan di pelatihan Advanced Training setelah mendapat masukan dari narasumber dan diskusi dengan peserta lain bersama steering committee/fasilitator.
4.Bersedia mengikuti wawancara yang akan dilakukan SC Advanced Training 2008 BEM UNM (Jadwal terlampir).
5.membayar biaya administrasi dan akomodasi yang ditetapkan panitia.
6.Bersedia mengikuti segala peraturan/kesepakatan Advanced Training 2008.



Perlengkapan peserta
1.Perlengkapan administrasi seperti sertifikat atau keterangan lulus Intermediate training, rekomendasi dari LK (Lembaga kemahasiswaan) yang mengutus.
2.Perlengkapan materil dan non materil seperti kesiapan mental, fisik dan literature (buku minimal 15 judul) sesuai dengan isu dan materi yang akan didiskusikan, mesin ketik/laptop dan keperluan lainnya selama di training.
3.Membuat makalah prasyarat tentang grand tema dan 5 draf makalah dari 8 materi Advanced Training. Draf makalah/essai yang dimaksud adalah pokok-pokok pikiran (pendapat tokoh, laporan, hasil analisis atau kajian, dan kumpulan pemikiran) seputar tema materi yang dipilh. Yang disusun secara tertulis dengan mengikutkan referensinya. Draf tersebut akan disempurnakan dalam pelatihan.

[Read more]

Posted in Label:

Asumsi yang dipakkai dalam pelatihan ini adalah bahwa peserta bukanlah orang yang datang dengan pengetahuan, pengalaman dan keterampilan yang kosong, pelatihan ini bersifat defragmenting (menata ulang) terhadap kekayaan pengetahuan peserta melalui tukar pikiran antar sesama peserta dan atau mengkonfirmasikannya dengan nara sumber. Dalam training metode yang digunakan adalah diskusi, studi kasus, studi literature, seminar, studi lapang yang diterapkan secara bergantian.


----------- VIVA FREEDOM-----------------

[Read more]

Posted in Label:

Asumsi yang dipakkai dalam pelatihan ini adalah bahwa peserta bukanlah orang yang datang dengan pengetahuan, pengalaman dan keterampilan yang kosong, pelatihan ini bersifat defragmenting (menata ulang) terhadap kekayaan pengetahuan peserta melalui tukar pikiran antar sesama peserta dan atau mengkonfirmasikannya dengan nara sumber. Dalam training metode yang digunakan adalah diskusi, studi kasus, studi literature, seminar, studi lapang yang diterapkan secara bergantian.


----------- VIVA FREEDOM-----------------

[Read more]

Posted in

Hampir setiap ruang dalam hidup dan kehidupan kita diwarnai oleh watak utama kapitalisme. Sadar ataupun tanpa kita sadari fitur-fitur dan tradisi kapitalisme seringkali dirawat, dipraktikkan dalam keseharian kita. Misalnya, eksploitasi individu yang satu kepada individu lain, eksploitasi alam, komodifikasi aset-aset publik, pola hidup konsumtif dan lain-lain.
Dalam ranah yang lebih luas, misalnya di bidang politik dengan sistem demokrasi perwakilan, dimana pengambilan keputusan/kebijakan untuk harkat hidup orang banyak hanya dilakukan oleh segelintir orang yang merasa banyak tahu tentang permasalahan masyarakat. Di bidang ekonoomi, dengan ekonomi neoliberal yang melahirkan raja-raja ekonomi seperti WTO yang punya mandat membuat aturan-aturan perdagangan, IMF, G8, AFTA dan lain-lain dengan doktrin utama setiap hal/sesuatu adalah komoditi yang orientasinya meraup keuntungan sebebesar-besarnya dan menimbun kekayaan, perdagangan bebas beriringan dengan ketimpangan ekonomi berskala dunia. Akibat ikutan dari kapitalisme global, masyarakat digiring untuk menganut sebuah budaya tunggal, konsumtif dan hedonis.
Dalam ranah pendidikan, karena watak dasarnya adalah komidifikasi maka pendidikan pun dijadikan komoditi. Aroma swastanisasi perguruan tinggi lewat BHP (Badan Hukum Pendidikan) begitu menyengat adalah salah satu bukti nyata ekspansi kapitalisme global. Merkantilisme pengetahuan dimana pengetahun dalam pendidikan diproduksi dan direproduksi untuk diperjualbelikan, diperdagangkan demi meraup laba-laba dan laba.
Benarkah dunia kini telah menuju ke titik tungal kemenangan kapitalisme neoliberalisme seperti khutbah fukuyama dalam the end of history?. yang menyeret semua umat manusia di seantero dunia berperilaku sama, pakain yang sama, makanan yang sama, tradisi yang sama dan seterusnya namun dikendalikan oleh segelintir orang. Alangkah tidak indahnya jika itu yang terjadi. Pelangi begitu indah karena warna-warninya. Dan harapan untuk mewujudkannya tak sepenuhnya sirna.
Dimitri Mahayana dalam Berhala Globalisme dan Kapitalisme global menyebutkan bahwa Empat serangkai, korporasi-korporasi raksasa dunia, para penguasa dunia (bangsa adidaya), sistem –sistem perekayasa dunia (mulai dari Bank-Bank kelas dunia hingga Hak Kreatifitas Intelektual) dan keempat yang memperkokoh hegemoni kapitalisme global adalah para intelektual. Dalam simbolisme agama ini adalah Bal’am,yang merupakan figur ulama yang memihak para penindas. Dikembangkan secara besar-besaran wacana-wacana yang memandang dunia dan masyarakat yang penuh kebinekaan ini dengan kacamata tunggal. Yakni globalisasi. Toffler, Naisbitt, Ohmae, dan banyak pemikir lain. Globalisasi, dalam arti lenyapnya batas-batas antar negara, dianggap sebagai keniscayaan alamiah yang tidak pernah mungkin dapat ditolak lagi. Sebagaimana air jatuh ke bumi karena ditarik gravitasi bumi, teknologi modern, - khususnya -,teknologi informasi dan komunikasi menjebol batas-batas antar negara.Tidak ada lagi kendali pemerintah atas segala hal di masyarakatnya. Para pemikir dan intelektual mengeluarkan serangkaian teori-teori dan pandangan yang seolah-olah tidak memiliki alternatif lain.
Kapitalisme telah berubah. Seperti mahluk mutan yang menjadi monster karena terkena limbah beracun dari kotorannya sendiri, kapitalisme semakin brutal dan mengerikan. Aiko Morita, kepala Sony Corporation, berteriak-teriak hingga serak mengingatkan dunia akan bahaya besar terjerumusnya kapitalisme ke dalam limbah beracunnya sendiri, yaitu peralihan dari kapitalisme industri produktif ke kapitalisme jasa keuangan dan spekulasi. Kaum kapitalis raksasa dunia tidak lagi mengabdi pada kapital sebagai industrialis yang menciptakan pekerjaan-pekerjaan dan barang-barang yang bernilai-guna, tapi menggelimangkan diri ke dalam spekulasi pasar uang, pencaplokan perusahaan lewat pasar saham, dan aktivitas yang parasitis lainnya.Dapat disarikan bahwa tanah tempat tumbuhnya ideologi neoliberalisme adalah peralihan kapitalisme muda yang segar-bugar menjadi kapitalisme lanjut yang renta dan liar.
Dalam kapitalisme lanjut,
a.Hukum persaingan bebas yang merupakan ruh kapitalisme akhirnya mencapai titik jenuh dan berbalik dengan berkembangnya pasar monopoli (saat ini kapital raksasa dunia hanya dikuasai sekitar 200 korporasi global).
b.Penggabungan kapital industri dan kapital keuangan. Kapitalisme bergerak dari menghasilkan barang (kapital industri) menjadi sekadar menghasilkan kekayaan bagi kapitalisnya sendiri lewat spekulasi saham, obligasi, dan mata uang.
c.Kekuasaan kapitalis bersifat banyak denyut (multitude) atau tidak memusat hanya dalam ekonomi tapi juga politik, budaya, pikiran, dan kehidupan sehari-hari. Tekanan ketundukan tidak lagi berasal dari kekuasaan negara bangsa meski kapitalis sering menggunakannya. Penghuni puncak semua korporasi global tidak peduli kewarganegaraan atau multi-kewarganegaraan.
d.Perkembangan kekuatan produktif (teknologi, ilmu pengetahuan) mencapai tahap yang memungkinkan kapital bergerak cepat dan dalam jumlah sangat besar (Internet dan teknologi informasi).
e.Dunia terpilah berdasarkan pembagian kerja global (dunia pertama pemasok kapital, dunia ketiga pemasok bahan baku dan tenaga kerja) dengan uang (dollar) perantara pertukaran tunggal untuk seluruh dunia.


Indonesia sebagai salah satu negara Dunia Ketiga sudah ditugaskan hanya sebagai penjaga agar “tidak terjadi perang saudara” di negeri-negeri di pusat pusaran kapitalisme. Dalam amatan Sritua Arif, tugas sebagai penjaga krisis kapitalisme di pusat formasi menjadikan kapitalisme Dunia Ketiga terjebak ke dalam bentuk kapitalisme rampok yang mewarisi corak kapitalisme kolonial yang tiada lain adalah anak jadah perkawinan antara kapitalisme murni dengan ragam produksi perupetian yang dihancurkan oleh penjajahan. Ragam produksi pra-kapitalis di Dunia Ketiga ternyata tidak hancur selebur-leburnya. Ruhnya masih gentayangan di antara praktik-praktik ekonomi kapitalisme sehingga penghisapan kapitalisme menjadi lebih ‘brutal’. Kapitalis-kapitalis pribumi yang akrab dengan elit-elit politik dalam sistem pemerintahan otoriter sebenarnya adalah kapitalis palsu yang keuntungannya bertumpu pada subsidi pemerintah. Sementara itu subsidi yang dikucurkan pemerintah berasal dari utang luar negeri yang pembayarannya ditanggung rakyat jelata lewat pemotongan subsidi kebutuhan pokok, pencabutan jaminan sosial, pencabutan subsidi pendidikan, dan sebagainya.
Gelombang perlawanan rakyat (di seluruh dunia) terhadap globalisasi neoliberal (imperialisme) juga semakin meningkat. Perangkat-perangkat globalisasi seperti IMF, Bank Dunia, WTO, Paris Club, AFTA, NAFTA, APEC, G8, dan sebagainya serta paket-paket kebijakan penyesuaian strukturalnya mulai terus menerus mendapat penolakan gerakan sosial internasional. Forum-forum dunia di mana para penggagas globalisasi neoliberal secara rutin bertemu dan membicarakan metode-metode pembagian dunia sesuai kebutuhan mereka, terus mendapatkan serangan-serangan demonstrasi massif.
Peristiwa Seattle 1999 yang menghabisi pertemuan World Economic Forum, pemberontakan Zapatista yang spektakuler pasca perang di Mexico adalah bukti riil bahwa tesis kemenangan neoliberalisme keliru. Gerakan sosial di dunia mulai bangkit kesadarannya terhadap kejahatan globalisasi neoliberal. Perlawananpun terus berlanjut di berbagai forum WTO, G8, APEC, AFTA dan sebagainya. Sejak saat itu slogan “Another World is Possible” begitu melekat dalam kesadaran gerakan sosial internasional. Berbagai forum sosial dunia menjadi ajang kampanye bagi kebutuhan sebuah dunia baru yang lebih baik, adil, maju dan manusiawi.
Dunia lain tersebut saat ini sedang diperjuangkan oleh gerakan sosial dan politik di seluruh dunia dengan berbagai metode dan strateginya. Musuh utamanya juga sudah semakin jelas, yakni kuasa kapitalisme dan turunannya, dan berpotensi menyatukan rakyat yang menjadi korban kejahatannya. Tanpa memandang agama, suku, wilayah dan bahasa, mayoritas rakyat sedunia sudah disatukan oleh penderitaan, kemiskinan, keterbelakangan, ketergantungan yang sama akibat dominasi kekuasaan modal yang merenggut harkat, martabat dan kemerdekaan umat manusia.

Di Indonesia, ilustrasi dapatkan adalah di Kalibening, Salatiga. Di sana masyarakatnya menyelenggarakan sekolah terbuka lewat Serikat Paguyuban Petani Qaryah Thayyibah yang menolak membayar pajak karena negara dianggap gagal mengakomodasi kepentingannya. Dengan mendirikan sekolah, tidak perlu lagi ada anak putus sekolah karena ketergantungan masyarakat terhadap negara ataupun pasar. Komunitas ini juga sedang melebarkan sayap melalui penyediaan kebutuhan masyarakat secara swadaya. Semakin banyaknya komunitas semacam ini akan menyelesaikan permasalahan masyarakat melalui aksi langsung. Selain itu, masyarakat Samin di Blora yang memegang teguh ajaran tetua pendiri desanya, menolak bersekolah di sekolah umum, tidak membuat KTP, dan menghindari keterlibatan dalam perekonomian modern juga layak dicermati sebagai metode perlawanan yang nyata ada dan berkembang di Indonesia. Aksi-aksi individu dan kolektif, dengan jargon antikonsumerisme, gerakan lingkungan dan lain-lain semakin marak dan ini menandakan bahwa ternyata ada secercah harapan menuju tatanan dunia baru, dunia tanpa dominasi tanpa hirarki tanpa penindasan. Semoga !

[Read more]

Posted in

“Saya tidak akan membiarkan diri saya jatuh dalam ketiadaan harapan, bagaimanapun berat situasinya. Saya yakin bila kau senantiasa melakukan hal yang kecil tanpa terpaku pada pemikiran yang besar-besar yang hendak kamu lawan, apabila kamu terus mengembangkan kemampuan sendiri, disitulah kekuatan baru akan muncul”
Vandana Shiva (Aktivis, fisikawan, ekolog dan editor).

Benarkah, tatanan dunia sudah hancur anakku?
Globalisasi adalah sebuah proses sosial yang “mengabaikan” geografi dan keadaan sosial budaya sebagai kemestian kemajuan teknologi-teknologi dan pembiakan korporasi-korporasi transnasional yang terjelma dalam kesadaran orang. Banyak orang memandang bahwa globalisasi adalah takdir Tuhan yang tidak dapat dihentikan. Berkahnya meliputi investasi, alih teknologi, jaringan internet, medornisasi dan kamakmuran.
Dilain pihak sebagian kalangan sangat prihatin dengan terhadap kecenderungan perkembangan ekonomi dunia yang semakin liar, dimana Negara-bangsa tidak dapat mengontrolnya. Bahkan tak jarang suatu Negara harus takluk pada kepentingan-kepentingan bisnis besar yang mampu mengalahkan undang-undang nasional (UU privatisasi air misalnya), perburuhan, dan kapitalisasi pendidikan (BHMN-BHP). Mereka meyakinkan pemerintah masing-masing Negara untuk mengubah undang-undang melalui jaringan organisasi ekonomi global, represi diplomatik sampai invasi militer.
Tidak heran jika Jemes Petras dan para pengkritik globalisasi mengatakan bahwa ada persamaan antara globalisasi dengan kolonilisasi.


Atas nama kemajuan, kemakmuran, terorisme, tatanan dunia baru yang aman raja-raja globalisasi yang berhimpun dalam himpunan setan: WTO (raja pasar), Bank dunia (raja Bank) dan IMF (raja rentenir).melakukan penetrasi dan ekspansi terhadap Negara-negara yang berdaulat.
Senada dengan hal di atas, Martin Manurung mengatakan bahwa Di tengah mitos globalisasi neoliberal yang katanya akan mengangkat dunia dari keterpurukan, jumlah orang miskin justru meningkat dari 800 juta orang pada tahun 1995 (ketika World Trade Organization/WTO didirikan), menjadi 850 juta pada tahun 2005.
Globalisasi telah membawa dunia pada jurang kemiskinan yang semakin dalam, sehingga 20 persen penduduk terkaya di dunia menguasai 86 persen total konsumsi dunia. Kelestarian lingkungan hidup pun memburuk dengan deforestasi mencapai 940.000 kilometer persegi di wilayah-wilayah termiskin dunia sejak 1990.
Inilah kenyataan globalisasi di mana Indonesia pun turut 'bermain' dengan mengaplikasikan kebijakan-kebijakan ekonomi neoliberal dengan pencabutan jaminan sosial melalui subsidi dan menjual semakin banyak sektor-sektor hajat hidup orang banyak kepada para pemodal dengan jargon 'pasar bebas'. Selain menghadapi desain internasional yang warnai dengan kekerasan struktural, bangsa kita juga diperhadapkan pada masalah masalah nasional yang tidak berujung dan selalu menimbulkan suasana ketidakpastian yaitu “transisi demokrasi”. Beberapa hal yang menjadi permasalahan dalam gelombang demokratisasi adalah Demokrasi diartikan sebagai bentuk pembukaan pasar domestik tanpa mempedulikan penguatan masyarakat sipil. Masyarakat barat yang memaksakan semua bangsa untuk menganut demokrasi liberal pasca runtuhnya komunisme.
Itulah wajah baru imperialisme, Sementara Imperialisme, adalah sebuah upaya pembangunan kekaisaran global (empire) melalui proses penaklukan, pendudukan, dan atau pengontrolan sumber-sumber daya alam di luar negeri. Pada masa sekarang ini, kalangan ilmuwan sosial progresif meyakini, Imperialisme merupakan motor penggerak sejarah yang sebenarnya. Dengan demikian, ada jurang lebar antara pengertian Republik dan Imperialisme. Jika keberhasilan Republik dinilai berdasarkan hubungan yang setara, tumbuh suburnya solidaritas sosial di kalangan anak-bangsa, maka kesuksesan imperialisme dihasilkan dari hubungan yang timpang dan dominatif.
Namun kenapa masih ada sekumpulan orang yang menganggap bahwa globalisasi adalah suatu takdir?. Sesuatu yang tidak bisa dilawan, pasrah menerima adalah perilaku yang seolah beradab. Disinilah kekuatan global, dimana proses globalisasi diawali dengan infiltrasi informasi. Sebagaimana kenyataan menguatnya dominasi atas teknologi informasi berdampak dengan fenomena bergesernya kuasa-kuasa yang tidak pernah dibayangkan sebelumnya. Bukan hanya Negara tidak bisa memberikan jaminan adanya kekuatan kontrol sosial dan perlindungan terhadap konstituennya, karena kuasa telah berpindah ke media. Bahkan standar kebenaran pun ditentukan oleh media. Hal sama pernah diungkapkan oleh Joseph Goebbels, propagandis NAZI mengatakan bahwa, “menguasai media berarti menguasai kebenaran, yang diperlukan hanyalah mengulang-uakabgnya,”. Dengan pola repetisi radikal, sebuah informasi bergerak dari data-data menjadi tanda-tanda yang dapat mencitrakan kekuatan. Dari tesis di atas dapat diketahui bahwa globalisasi hanyalah proses pencitraan melalui ragam tanda yang dikumpulkan dalam simulasi-simulasi kebenaran.Dalam kondisi demikian setiap nilai menjadi profane, tanda-tanda memiliki nilai yang sama dan nyaris tanpa manka mendalam. Selama semuanya dapat dimanfaatkan maka sejauh itu pula nilai-nilai apapun dapat diterima. Dalam kondisi inilah terjadi invasi (kolonisasi pengetahuan) yang selanjutnya berlanjut pada invasi ekonomi dimana bisnis hanyalah urusan laba, laba dan laba. Invasi budaya dan lain-lain. Karena globalisasi dangen kapitalismenya adalah isme yang paling banyak belajar atas perkembangan libido manusia. Dengan Teknologi Informasi dan ideologi pasar, kapitalisme menjarah setiap hak-hak bangsa yang berdaulat, budaya, air, tanah hingga hak menentukan nasib sendiri, lalu apa bedanya dengan kolonialisme ?. sementara kolonialisme hanya mengalirkan darah, mengucurkan airmata penderitaan, dan kehancuran.

Indonesia yang “baru”!
Setelah reformasi yang menumbangkan pucuk kekuasaan rejim Orba pada 1998, terjangan imperialisme semakin menjadi-jadi. Rejim-rejim paska reformasi kian menjadikan dirinya sebagai klien imperialis. Jika pada masa Orba, agen-agen imperialisme masih harus bernegosiasi dengan struktur kekuasaan yang relatif homogen, saat ini, justru rejim-rejim paska reformasi berusaha semampu mungkin mengikatkan dirinya pada agen-agen imperialisme itu. Jika pada masa Orba Imperialisme bekerja di bawah payung perang global melawan komunisme, di masa reformasi ini, Imperialisme bekerja di bawah atap perang global melawan terorisme. Akibatnya, bukannya membuka lembaran baru bagi kebangkitan kembali Republik, rejim di era transisi ini malah kian menghamba pada tuntutan-tuntutan negara imperial: obral murah perusahaan milik negara, mencabut sesegera mungkin subsidi untuk kebutuhan mendasar rakyat, atau bagaimana agar kekuatan buruh selekas-lekasnya dilucuti agar tidak mengganggu kelangsungan eksplotasi.
Dan, keberhasilan melayani kepentingan imperialis itu, dijadikan ukuran sukses tidaknya kinerja rejim masa transisi. Kata kuncinya, semakin terintegrasi semakin sukses. Misalnya, semakin banyak menjual perusahaan milik negara (BUMN), pertanda rejim baru ini sukses melaksanakan reformasi ekonomi. Semakin cepat mencabut subsidi kebutuhan pokok, semakin berbangga diri sebagai rejim paling konsisten. Semakin cepat membayar utang luar negeri, semakin merasa terhormat di mata negara imperial.
Fakta-fakta di atas tidak boleh membuat kaum muda melemah, inisiasi dan karya-karya kecil sebagaimana yang diutarakan Vandana Shiva di atas tidak boleh mandeg. Sepanjang sejarah perjuangan, kaum muda merupaka tokoh sentral dalam keberhasilannya. Di Indonesia sejak perebutan kemerdekaan hingga kini selalu dipelopori oleh kaum muda. Jika pemerintah tidak lagi berpihak pada rakyat, politik hanya milik kaum tua elitis, ketika pemerintah tidak lagi berbicara tentang perubahan maka kaum muda harus membentuk tradisi baru dan organisasi untuk menggulingkan kekuasaan kaum tua yang elitis dan arogan.
”Indonesia baru” sebenarnya Indonesia dalam visi para pendiri negeri ini. Bung Karno dan Bung Hatta, yang ditinggalkan ketika Indonesia memasuki arus ekonomi neoliberal. Kaum muda harus mempopulerkan gerakan solidaritas antar sesama korban ketidakadilan global, solidaritas tidak dibangun dengan jargon, tetapi lewat tindakan riil, termasuk ekonomi dan pemanfaatan teknologi untuk membangun kelembagaan lokal. Mengintenskan forum-forum diskusi dan pertemuan antar gerakan sebagai upaya transformasi ide yang secara internal, forum ini akan mendorong proses perubahan.
Neoliberalisme bukan tak bisa dilawan !!
"Sejarah jauh dari usai. Di masa depan, koeksistensi harmonis itu mungkin, bukan karena perang yang mencoba mendominasi yang lain, tapi karena cita-cita bersama, dan seiring dengan itu, harapan: harapan pertahanan hidup umat manusia, melawan neoliberalisme." ~Subcomandante Marcos~
Tidak ada kemajuan yang didapat sebuah negara dalam arus kapitalisme kecuali kehancuran ~Andito~.
Sistem kontrol global yang mengatur hingga jauh melampaui batas kewenangan dan teritorialnya akan menjadi tantangan tersendiri bagi munculnya kelas perlawanan yang tidak menginginkan adanya dominasi kepentingan terhadap ruang hidup.
Gerakan progresif sedunia melawan neoliberalisme menyerukan alternatif terhadap globalisasi neoliberal. Perlawanan itu datang dari gerakan negara-negara dunia ketiga yang tidak sepakat melihat harkat hidup orang banyak ditentukan oleh para korporat besar dan para elite yang berkumpul dalam WTO. Nasib orang-orang miskin tak boleh diperdagangkan sebagai trade-off dari liberalisasi perdagangan sebagaimana terjadi pada sidang-sidang tawar menawar di WTO.
Serangkaian perlawanan anti kapitalisme tersebut merupakan bantahan terhadap analisa Francis Fukuyama. Dalam The End of History, Fukuyama menyatakan bahwa akhir dari sejarah dunia adalah kapitalisme yang ditandai dengan jatuhnya Soviet dan runtuhnya Tembok Berlin di Eropa. Inilah kemenangan Demokrasi Liberal. Menurut Francis pula, hal ini pun ditandai dengan matinya Oposisi Politik terhadap Demokrasi Liberal yang saat ini tengah berjaya. Namun bukankah oposisi politik yang dimaksud Francis adalah oposisi terhadap kapitalisme yang justru sekarang ini semakin meningkat perlawanannya di berbagai belahan dunia?.
Memang kelompok-kelompok gerakan anti kapitalisme dalam saat ini masih dalam jumlah yang kecil dan masih bergerak sendiri-sendiri, terserak dan spontan namun gerakan anti kapitalisme itu terjadi di mana-mana, di berbagai negeri baik di Amerika Latin, Asia maupun di Eropa sendiri tempat kapitalisme tumbuh dan berkembang. Namun gerakan anti neoliberalisme harus mengekspose musuh bersama, membangun jaringan global dan membangun dialog global. Salah satunya dengan menggunakan jaringan media internet, mengingat hampir semua media-media elektronik dan cetak yang ada dikuasai oleh korporasi.
Gerakan anti Neoliberalisme seperti Zapatista dengan EZLNnya, yang berbasiskan para petani di Chiapas, Meksiko dan Greenpeace yang bergerak di lingkungan yang berpusat di Jerman, LPM (Landless Peoples Movement) yang berbasis rakyat tak bertanah di Afrika selatan, NBA (Narmada Bachao Andalon yang dimotori oleh kelompok aktivis yang kebanyakan berpenedidikan tinggi dan professional di India, AMAN (Aliansi Masyarakat Adat Nusantara) di Indonesia serta sejumlah perlawanan yang bersifat lokal dan berbasis komunitas seperti komunitas punk, subkultur dan lain-lain. Meskipun gerakan sosial melawan neoliberalisme ini belum mengglobal dan mengakar sebagaimana globalisasi-kapitalisme, namun harapan terwujudnya tatanan dunia yang lebih adil tak sepenuhnya sirna.

[Read more]

Posted in

Perbincangan kapitalisme global akan tetap hangat, dan seru. selain karena kapitalisme yang demikian kompleks dan rumit, ia juga mempunyai kemampuan memperbaharui diri dengan cepat.sehingga model, cara menghadapinya pun harus diperbaharui. sudah banyak kasus dimana kapitalisme mampu membalikkan mode-mode perlawanan menjadi penopang langgengnya kapitalisme.
postingan berikut bisa menjadi referensi.

Berhala globalisme dan kapitalisme global
DR. Dimitri Mahayana (Pengamat Sosial/Dosen Jurusan Teknik Elektro ITB)

Geger harga gabah akhir-akhir ini tidak lepas dari globalisasi yang memihak dan keinginan primordial kapitalisme Barat untuk mengakumulasikan the wealth of nations (kekayaan-kekayaan bangsa-bangsa) di seantero dunia untuk kepentingan their nations (bangsa-bangsa mereka). Skenarionya sederhana, mekanisme pasar bebas membuat mungkin bagi korporasi-korporasi multi nasional untuk merekayasa harga gabah turun. Bila harga gabah turun,petani Indonesia kalang kabut. Akhirnya terpaksa sebagian dari mereka berbondong-bondong mencari profesi lain. Di sini, berbagai Multi National
Corporation yang membutuhkan tenaga kerja murah dapat melakukan berbagai kegiatan manufakturnya di Indonesia dengan harga tenaga kerja yang teramat murah. Karena mereka telah memiliki supply calon tenaga kerja yang tidak mempunyai lagi pilihan dan bargaining position . Supply calon tenaga kerja dalam jumlah besar, akan mengikuti hukum kompensasi ala David Ricardo,para tenaga kerja mau tidak mau rela menerima upah yang di bawah KHM (Kebutuhan Hidup Minimal), hidup segan mati tak mau.

Apakah kita saat ini telah benar-benar merdeka? Dan apakah para penjajah dari Barat yang telah malang melintang menyedot seluruh kekayaan dunia dalam lima abad terakhir ini benar-benar kini telah sadar dan benar-benar secara hakiki menjadi orang yang paling beradab, bahkan menjadi pembela paling gigih dari Hak Azasi Manusia ? Benarkah mereka ingin memperjuangkan liberty, equality dan egality dalam arti yang sesungguhnya?

Pertanyaan pertama dapat dijawab dengan mudah, secara de jure kita telah lima puluh lima tahun merdeka. Namun secara de facto, jelas kita belum merdeka untuk menentukan nasib kita sendiri. Apabila di Jepang untuk proteksi petani dapat dibuat aturan pajak impor 400 % dari harga, kenapa untuk memperoleh pajak impor 40 % dari harga gula saja kita mesti mengemis-ngemis dulu ke pihak asing? Bagaimana pula dengan proteksi harga gabah, untuk kelangsungan kehidupan para petani kita?

Kini ide globalisme dengan proposisi utama “globalisasi meniscayakan ketidakmungkinan kita untuk menolak keterkaitan global, nilai-nilai global dan kepentingan global” telah menjadi suatu hegemoni. Sebuah hegemoni,menurut Antonio Gramsci, membuat pihak-pihak yang sebenarnya terjajah malahan mengakui superioritas yang menjajah, dan secara sukarela membiarkan diri mereka dijajah. Selain itu , malahan hegemoni membuat pihak yang terjajah mati-matian mempertahankan kepentingan para penjajah.

Ada empat serangkai yang menciptakan hegemoni kapitalisme global.Pertama, korporasi-korporasi raksasa dunia yang kapitalis , paling tidak demikianlah menurut David C. Korten, dalam “When Corporations Rule The World”. Dalam simbolisme agama, ini disimbolkan oleh Qarun. Kedua, para penguasa dunia, dalam hal ini adalah Amerika Serikat dan beberapa negara Eropa yang terkait. Dalam simbolisme agama, ini disimbolkan oleh Fir’aun.Ketiga, para teknokrat, yakni yang telah merancang berbagai sistem globalisme untuk dan demi kepentingan Barat. Sistem ini mengandung PBB dengan Dewan Keamanannya, yang sering bertindak sangat tidak adil.Bandingkan misalnya masalah Kashmir yang sudah lima puluh tahun dengan referendum Timor Timur yang baru lalu. Sistem ini juga mengandung World Bank, IMF, jaringan bank-bank besar di Barat. Uang-uang yang dikumpulkan melewati para penindas di seluruh negara dunia ketiga melewati Bank Swiss misalnya, akan dipinjamkan lagi menjadi utang-utang yang mengikat dan akhirnya merampas kemerdekaan bangsa-bangsa dunia ketiga. Demikian juga uang-uang yang dikumpulkan melalui berbagi perusahaan asuransi tingkat dunia. Agama (khususnya Islam) telah memperingatkan ; haramnya riba . Demikianlah Tuhan Yang Maha Kasih sebenarnya melindungi ummat dan masyarakat dari penjajahan dan perbudakan dan ketergantungan , yang merupakan sifat hakiki dan akibat langsung dari riba. Hak Kreatifitas Intelektual , - suatu hukum global baru yang sampai diperjuangkan mati-matian oleh Bill Clinton dalam konferensi APEC di Bogor 1994- telah berubah menjadi alat teknokrat globalisme yang kurang masuk di akal. Tempe telah dipatenkan di Amerika , sehingga bila kita akan mengekspor tempe ke Amerika kita mesti ijin kepada yang memiliki patennya dan membayar hak ciptanya. Demikian pula batik Pekalongan dan karya-karya seni yang demikian hebat dari Bali, - si Pulau Dewata yang memiliki kekayaan antropologis tak terhingga. Para teknokrat ini , dalam simbolisme agama,adalah Haman sang teknokrat.
Kelengkapan dari empat serangkai yang menegakkan hegemoni kapitalisme global adalah para intelektual. Dalam simbolisme agama ini adalah Bal’am,yang merupakan figur ulama yang memihak para penindas. Dikembangkan secara besar-besaran wacana-wacana yang memandang dunia dan masyarakat yang penuh kebinekaan ini dengan kacamata tunggal. Yakni globalisasi. Toffler, Naisbitt, Ohmae, dan banyak pemikir lain. Globalisasi, dalam arti lenyapnya batas-batas antar negara, dianggap sebagai keniscayaan alamiah yang tidak pernah mungkin dapat ditolak lagi. Sebagaimana air jatuh ke bumi karena ditarik gravitasi bumi, teknologi modern, - khususnya -,teknologi informasi dan komunikasi menjebol batas-batas antar negara.Tidak ada lagi kendali pemerintah atas segala hal di masyarakatnya. Para pemikir dan intelektual mengeluarkan serangkaian teori-teori dan pandangan yang seolah-olah tidak memiliki alternatif lain.
Teori pertama, bahwa ekonomi global akan dan pasti akan mengatasi seluruh halangannya, baik halangan politis, geografis dan lain-lain. Tidak mungkin sama sekali untuk memiliki “keragaman ekonomi”, dan berani “berbeda” dengan “ekonomi global”. Amerika Serikat dan para pendukungnya, - melalui WTO-, menekan seluruh negara untuk melakukan liberalisasi ekonomi. Dan mereka merasa berhak untuk marah besar kepada Mahathir Mohammad yang menolak menandatangani kebebasan berinvestasi 100 % bagi para investor asing. Salah satu ungkapan yang menjadi dalil bagi orang para pendukung wacana ini adalah seperti, “ runtuhnya tembok Berlin menunjukkan, kekuatan politik apa pun akan tunduk pada kepentingan ekonomi (global).”
Teori kedua, bahwa satu-satunya sistem yang cocok bagi seluruh ummat manusia di dunia adalah sistem pasar bebas . Pasar bebas harus
direalisasikan di seluruh negara. Dipercaya bahwa bila pasar bebas ini
terjadi akan ada “tangan-tangan gaib” (invisible hands) yang membuat
mekanisme pasar memberikan yang terbaik untuk masyarakat manusia di dunia. Setidaknya demikianlah konsep pasar bebas kapitalis yang diilhami oleh “The Wealth of Nation” dari Adam Smith.

Teori ketiga, teori-teori desentralisasi, deinstitusionalisasi, dan berbagai dugaan-dugaan managerial yang diangkan menjadi satu trend niscaya yang mesti diikuti. Otonomi perguruan tinggi misalnya, adalah satu dari agenda desentralisasi ini. Dan apakah otonomi perguruan tinggi , yang juga merupakan permintaan langsung pihak “global” pada Indonesia, tidak malah akan mengorbankan “modal intelektual” perguruan-perguruan tinggi Indonesia di altar ketergantungan pada pihak-pihak asing yang tentu siap memberikan “dana-bersyarat” pada mereka?

Keempat serangkai ini, korporasi-korporasi raksasa dunia, para penguasa dunia (bangsa adidaya), sistem –sistem perekayasa dunia (mulai dari Bank-Bank kelas dunia hingga Hak Kreatifitas Intelektual) maupun para intelektual, telah berhasil mendirikan hegemoni global kapitalisme dunia.Hegemoni memiliki pengaruh yang kuat sehingga, kita bisa melihat berbagai dampaknya dalam fraktal-fraktal kasus-kasus di bawah ini;


Hegemoni budaya, dengan segala seginya (TV, media massa dll) dapat
dilihat dengan hancurnya budaya-budaya lokal secara amat cepat. Generasi muda kita jauh lebih mengenal Michael Learns To Rock dan Backstreet Boys ketimbang tembang Ilir-Ilir, lagu – lagu kawih Sunda, dan berbagai kebudayaan – kebudayaan daerah kita yang memiliki nilai seni amat tinggi. Kaum Muslim Melayu kini lebih akrab dengan tulisan latin dan bahasa Inggris, ketimbang huruf Arab-Melayu (pego) dan bahasa Arab. Gerald Celente, pendiri Trends Research Institute, dalam bukunya “Trends 2000” menjelaskan bahwa bahasa Inggris mencapai daya jangkau yang tidak pernah dicapai oleh bahasa apa pun di dunia, dan kenyataan ini memberikan suatu kekuatan budaya yang tidak ternilai bagi bangsa Amerika.

Hegemoni ras barat terhadap kulit berwarna, yang dapat dilihat dari
banyaknya kasus perbedaan gaji yang luar biasa antara kulit putih maupun orang asing dengan orang Indonesia asli. Kasus PAM Jaya yang cukup merebak dengan gaji orang-orang asing di sana mencapai angka hampir duaratus juta rupiah sebulan, dan gaji karyawan pribumi Indonesia hanya seperdelapanpuluhnya atau bahkan seperduaratusnya menunjukkan suatu hal; dalam hegemoni ras Barat, persamaan memiliki arti “perbedaan gaji sampai skala ratusan untuk pekerjaan yang nilai keahliannya hampir sama harus dapat diterima, bila orang Barat lah yang memperoleh gaji ratusan kali orang pribumi Indonesia”.

Hegemoni ekonomi global. Dalam upaya pemerintah saat ini untuk mengamankan ekonomi nasional, ada kesan pemerintah lebih fasih untuk melayani kepentingan ekonomi “global” yang merepresentasikan orang-orang asing ketimbang kepentingan rakyatnya. Kekuatan ekonomi asing ikut campur menentukan kenaikan harga listrik dan BBM. Mereka pun ikut campur dalam proteksi petani , padahal bangsa kita yang kebanyakan adalah petani. Tidak bisakah kita mandiri? Dalam memahami diri kita sendiri? Kekuatan ekonomi kita? Kekuatan sosial budaya kita? Tidakkah kita mesti mencontoh Malaysia dalam hal bagaimana ia dapat mempertahankan dirinya dalam krisis global 1997, yang amat mungkin merupakan strategi kekuatan kapitalisme global (salah satunya Soros) untuk menguasai seluruh “resources” di seantero dunia?


Untuk memahami hegemoni ekonomi global ini , beberapa hal berikut dapat
direnungi.Apa yang telah dilakukan oleh orang-orang Barat selama tiga ratus tahun terakhir ini pada orang-orang Afrika? Selama perioda 350 tahun populasi Afrika tetap tidak berkembang dalam jumlah, sedangkan populasi dunia meningkat empat hingga lima kali. Masih terekam dalam kenangan kita,kapal-kapal , “yang mungkin lebih layak untuk mengangkut binatang”, yang mengangkut mereka untuk diperbudak di Amerika, 15-20 % diantaranya mati ditengah jalan . Di tambang-tambang mereka mesti bekerja amat keras , 12 hingga 16 jam sehari, sedangkan yang selain mereka hanya 8 jam sehari.

Gerakan anti perbudakan, - mungkin adalah salah satu jasa Abraham Lincoln-, tapi mengapa gerakan ini berhasil? Ketulusan orang-orang Barat untuk mendukung gerakan anti perbudakan hingga sekarang “tidak ada lagi” perbudakan kurang dapat diterima, karena momen Revolusi Industri membuat perbudakan tidak lagi efisien. Apakah perbudakan dihapuskan karena nilai-nilai manusiawi, ataukah demi efisiensi, merupakan suatu hal yang masih dapat diteliti lebih lanjut dalam sejarah. Kenyataan seorang petenis besar Barat memperoleh berbagai masalah karena beristrikan seorang kulit hitam, masih dapat kita lihat dalam kenyataan kontemporer masa kini. Dalam perang dunia kedua, Perancis menggunakan 200.000 tentara Afrika yang berperang di pihak Perancis. Sedangkan orang-orang Eropa itu sendiri jarang pergi ke front-front peperangan. Kemakmuran apa yang ditinggalkan oleh orang Eropa dan Amerika dalam era pasca-perbudakan di Afrika?

Data-data (tahun 80-an) menunjukkan , rata-rata penghasilan per kapita di negara “maju” (seperti Amerika) rata-rata US $ 4,000, sedangkan di Afrika US $ 140. Kongo misalnya, US$ 52 , bahkan Chad lebih kecil dari itu.Dalam hal konsumsi: konsumsi besi dan baja per orang di Amerika adalah 700 kg, sedangkan di Ethiopia, - sebuah negara yang sudah lama berperadaban-,besi dan baja hanya 2 kg per orang. Sepeninggal orang-orang Eropa dan Amerika, Afrika tak lebih adalah dataran tandus yang dipenuhi berbagai wabah dan kelaparan. Tembaga, berlian, emas, batu bara dan minyak Afrika pergi ke Eropa. Produk-produk industri Afrika yang baik dijual di pasar-pasar Eropa. Sesungguhnya kegemerlapan peradaban Amerika dan Eropa berdiri di atas darah orang-orang Afrika (juga Asia dan Amerika Latin).

Apa yang kini terjadi dalam kasus Freeport, telah 1000 trilyun rupiah
lebih nilai barang tambang kita, - tanpa “sepeser”pun dinikmati oleh
saudara kita di Irian-, telah diangkut untuk membangun peradaban Barat.
Apa yang terjadi di perusahaan, seperti sepatu Nike: tenaga kerja dibayar amat murah untuk produksi sepatu Nike, tapi dengan aturan aneh, pabrik tidak boleh menjual langsung di pasaran nasional. Semua harus dijual dengan harga kira-kira US $ 10 ke korporasi global Nike. Dan korporasi itu akan menjualnya ke seluruh dunia dengan harga yang berlipat-lipat (mungkin lebih dari sepuluh kali lipat hingga dua puluh kali lipat). Berapapun keuntungan PT Nike, - juga Michael Jordan yang memperoleh ratusan milyar bahkan trilyunan untuk mempromosikannya-, para buruh Indonesia di JABOTABEK hanya sekedar mempertahankan kulitnya menempel di tulang, -menerima gaji yang kurang lebih tak lebih sekedar UMR yang sangat mungkin memiliki nilai di bawah Kebutuhan Hidup Minimal. Kini Barat telah memperluas Afrika lama mereka menjadi Afrika, Asia dan Amerika Latin, dan karena Afrika tinggallah menjadi seonggok bangsa yang berebutan hidup di tanah tandus, Asia menjadi pilihan yang paling empuk.

Bagaimana cara orang-orang Barat dan kekuatan hegemoni global menguasai
dan merampas kedaulatan bangsa-bangsa Dunia Ketiga? Negara-negara besar seperti Cina, India, Indonesia, Afrika Barat, Mesir jatuh ke dalam jebakan ekonomi mereka. Statistik pada tahun 80- an menunjukkan utang negara-negara dunia ketiga pada mereka menjapai US $ 700 milyar
(kira-kira Rp 5.000 trilyun). Amerika Latin saja mencapai US $ 350 milyar.Dengan bunga 10 atau 5 % saja, berapakah mereka mesti membayar “bunga” hutang sebesar itu ? Sebuah negara seperti Brasil yang memiliki utang lebih dari US $ 80 milyar, mesti membayar US $ 8 milyar sebagai bunga pertahun bila bunganya 10 %. Maka kapan negara itu akan bisa berdiri di atas kakinya sendiri ? Pada tahun 1863 Tunisia meminjam 5,5 juta Franc dari perancis. Untuk sebuah kapal perang lama, kapal-kapal dan gaji staf-stafnya Perancis men-charge 3,5 juta Franc. Kapal ini ternyata tidak pernah digunakan, apalagi memberikan manfaat pada rakyat Tunis. Telah dicatat bahwa dalam tujuh tahun, hingga tahun 1870, utang Tunisia mencapai 350 juta Franc. Hasilnya? Tunisia tidak mampu membayar hutang itu. Sebagai konsekuensinya, Itali, Perancis dan Inggris membuat komisi bersama , dan setelah itu mereka ikut campur dalam menangani ekonomi Tunisia sebagai “Tunisia’s economic guardian”. Bagaimana dengan Maroko, dengan 67 million Frank mereka melakukan hal yang sama kepada Maroko. Dicatat pula dalam sejarah, utang Mesir pada saat itu (1863-1876) berlipat tiga puluh kali.

Orang-orang Barat menawarkan proyek-proyek mega yang berteknologi
tinggi, - yang sering kali tidak sesuai dengan kebutuhan masyarakat dunia ketiga. Kemudian mereka menawarkan pinjaman. Dengan sistem riba yang merupakan sifat esensial dari pinjaman ini, mereka menguasai dan
mengontrol negara-negara dunia ketiga. Sungguh, sekiranya orang-orang
menolak sistem bank dengan riba ini, - sebagaimana perintah Tuhan dalam
Islam-, mereka tidak akan terjebak dalam jebakan ekonomi Barat ini.
Bagaimana Soros mulai menanamkan kapitalnya di Astra dan mungkin akan
segera diikuti oleh berbagai perusahaan lain di Indonesia, - hal seperti inilah yang diinginkan oleh Barat. Yakni mengendalikan berbagai sumber kekayaan di seantero dunia, untuk kejayaan ras kulit putih dan lebih spesifik lagi korporasi-korporasi mereka. Semangat dan spiritnya nampak persis dengan semangat kolonialisma. Namun kini jauh lebih lembut, tidak kentara dan jauh lebih kejam. Hegemoni global yang telah dibangun ,setidaknya saat ini, berhasil dengan gemilang.

Mungkin kita dapat belajar dari kehidupan serangga, - sebagaimana dalam
AntZ dan A bug’s life. Ada sejenis serangga yang besarnya di antara lalat dan lebah. Serangga ini pada saat bertelur mematuk sejenis ulat, sehingga ulat tersebut pingsan. Ulat tersebut dibuat tidak mati, namun hiduppun tidak. Ketika telur-telur ini menetas, anak-anak serangga itu ramai-ramai memakan ulat yang sedang pingsan tersebut, tanpa merasa dosa sedikitpun, karena mereka tidak mengetahui (tidak melihat sendiri) saat ulat tersebut dipatuk. Ketika anak-anak serangga itu sudah besar dan mau bertelur,mereka mengulangi siklus yang sama. Benarkah bahwa kapitalisme global itu adalah sang serangga ; dan benarkah bahwa kita semua di dunia ketiga adalah ulat yang dipatuk,- yang dibuat hidup segan mati tak mau- yakni dipertahankan sebagai mediocre . Kapitalisme global tidak ingin membunuh Indonesia, karena mereka membutuhkan Indonesia , sebagai sumber berbagai resource dan kemakmuran (baik tambang dan hal-hal alamiah maupun tenaga kerja murah) dan juga sebagai pasar yang luar biasa yang bisa membeli barang-barang produk mereka. Namun para kapitalis global juga tidak pernah akan merelakan Indonesia – dan negara dunia ketiga- menjadi semakin kuat dan menyaingi mereka: krisis Asia yang terjadi secara amat mendadak dan terasa tidak alamiah mungkin adalah rancangan dari para kapitalis global ini. Tengok pula kasus Jepang yang ditekan oleh Amerika hanya karena ia melakukan proteksi terhadap ekonomi nasionalnya yang menguat terus.

Semoga para wakil rakyat (MPR) yang sedang melakukan amandemen, dapat
memikirkan secara lebih bijak perlunya membuat pasal-pasal UUD baru yang lebih terperinci, yang lebih memperhatikan wacana-wacana globalisme dan globalisasi secara lebih luas dan tidak terjebak pada rancangan-rancangan kekuatan ketamakan global. Proteksi pada pertanian yang membuat kita mandiri dan tidak tergantung sama sekali ke pihak asing dalam hal makanan merupakan hal yang selayaknya dituangkan dalam UUD. Proteksi pada kepentingan-kepentingan nasional lain: membuat pasal-pasal yang menjadi fundamen kokoh bagi ekonomi nasional yang memihak pada yang lemah dan tidak membeo pada ideologi hegemoni pasar bebas juga selayaknya dipertimbangkan. Keberpihakan pada yang lemah yang merupakan spirit masyarakat beragama di Indonesia perlu diwujudkan dalam pasal-pasal yang nyata dan jelas dan tidak ambigu: % yang jelas bagi anggaran Pendidikan, kesanggupan pemerintah untuk menjamin biaya pendidikan masyarakat sampai tingkat tertentu, proteksi pada sumber-sumber daya alam dengan prioritas pada penduduk setempat, proteksi pada inisiatif-inisiatif pemberdayaan masyarakat yang benar-benar berdasar pada kepentingan masyarakat, bukan pada kepentingan asing. MPR juga perlu memikirkan secara serius pendistribusian wewenang, sehingga semua hal tidak tertumpu hanya pada presiden. Kompleksitas permasalahan untuk menghadapi kapitalisme global membuat terlalu riskan menumpukannya hanya pada presiden. Tidak ada salahnya misalnya, media massa seperti TV, Radio dan Koran langsung ada di bawah kendali MPR . Apakah kita akan terus menjadi “budak-budak” sebagaimana “budak-budak Afrika dahulu, ataukah merdeka dan dapat hidup layak sebagai bangsa yang merdeka, tergantung pada mereka,- para wakil yang menerima amanat dari rakyat. Bila para wakil rakyat dan pemerintah kembali kepada taqwa, menegakkan sistem yang Adil dan berpihak pada para dhu`afa dengan niat lillahi ta’ala, dan kembali pada jati diri masyarakat kita sendiri dalam menentukan berbagai kebijakan, seraya membebaskan diri dari berhala globalisme , insya Allah, Tuhan akan menolong bangsa kita dan
membimbingnya menuju masyarakat yang adil dan menyempurna. Dalam keadaan yang demikian rumit ini, tidak ada harapan dan daya lain bagi bangsa kita kecuali kembali kepada Allah, seraya memohon pertolongan dan petunjuk Nya. Niscaya, akan kita temui bahwa Allahlah sebaik-baik penolong.

[Read more]

Posted in Label:

 
WE WILL GO DOWN