Hampir setiap ruang dalam hidup dan kehidupan kita diwarnai oleh watak utama kapitalisme. Sadar ataupun tanpa kita sadari fitur-fitur dan tradisi kapitalisme seringkali dirawat, dipraktikkan dalam keseharian kita. Misalnya, eksploitasi individu yang satu kepada individu lain, eksploitasi alam, komodifikasi aset-aset publik, pola hidup konsumtif dan lain-lain.
Dalam ranah yang lebih luas, misalnya di bidang politik dengan sistem demokrasi perwakilan, dimana pengambilan keputusan/kebijakan untuk harkat hidup orang banyak hanya dilakukan oleh segelintir orang yang merasa banyak tahu tentang permasalahan masyarakat. Di bidang ekonoomi, dengan ekonomi neoliberal yang melahirkan raja-raja ekonomi seperti WTO yang punya mandat membuat aturan-aturan perdagangan, IMF, G8, AFTA dan lain-lain dengan doktrin utama setiap hal/sesuatu adalah komoditi yang orientasinya meraup keuntungan sebebesar-besarnya dan menimbun kekayaan, perdagangan bebas beriringan dengan ketimpangan ekonomi berskala dunia. Akibat ikutan dari kapitalisme global, masyarakat digiring untuk menganut sebuah budaya tunggal, konsumtif dan hedonis.
Dalam ranah pendidikan, karena watak dasarnya adalah komidifikasi maka pendidikan pun dijadikan komoditi. Aroma swastanisasi perguruan tinggi lewat BHP (Badan Hukum Pendidikan) begitu menyengat adalah salah satu bukti nyata ekspansi kapitalisme global. Merkantilisme pengetahuan dimana pengetahun dalam pendidikan diproduksi dan direproduksi untuk diperjualbelikan, diperdagangkan demi meraup laba-laba dan laba.
Benarkah dunia kini telah menuju ke titik tungal kemenangan kapitalisme neoliberalisme seperti khutbah fukuyama dalam the end of history?. yang menyeret semua umat manusia di seantero dunia berperilaku sama, pakain yang sama, makanan yang sama, tradisi yang sama dan seterusnya namun dikendalikan oleh segelintir orang. Alangkah tidak indahnya jika itu yang terjadi. Pelangi begitu indah karena warna-warninya. Dan harapan untuk mewujudkannya tak sepenuhnya sirna.
Dimitri Mahayana dalam Berhala Globalisme dan Kapitalisme global menyebutkan bahwa Empat serangkai, korporasi-korporasi raksasa dunia, para penguasa dunia (bangsa adidaya), sistem –sistem perekayasa dunia (mulai dari Bank-Bank kelas dunia hingga Hak Kreatifitas Intelektual) dan keempat yang memperkokoh hegemoni kapitalisme global adalah para intelektual. Dalam simbolisme agama ini adalah Bal’am,yang merupakan figur ulama yang memihak para penindas. Dikembangkan secara besar-besaran wacana-wacana yang memandang dunia dan masyarakat yang penuh kebinekaan ini dengan kacamata tunggal. Yakni globalisasi. Toffler, Naisbitt, Ohmae, dan banyak pemikir lain. Globalisasi, dalam arti lenyapnya batas-batas antar negara, dianggap sebagai keniscayaan alamiah yang tidak pernah mungkin dapat ditolak lagi. Sebagaimana air jatuh ke bumi karena ditarik gravitasi bumi, teknologi modern, - khususnya -,teknologi informasi dan komunikasi menjebol batas-batas antar negara.Tidak ada lagi kendali pemerintah atas segala hal di masyarakatnya. Para pemikir dan intelektual mengeluarkan serangkaian teori-teori dan pandangan yang seolah-olah tidak memiliki alternatif lain.
Kapitalisme telah berubah. Seperti mahluk mutan yang menjadi monster karena terkena limbah beracun dari kotorannya sendiri, kapitalisme semakin brutal dan mengerikan. Aiko Morita, kepala Sony Corporation, berteriak-teriak hingga serak mengingatkan dunia akan bahaya besar terjerumusnya kapitalisme ke dalam limbah beracunnya sendiri, yaitu peralihan dari kapitalisme industri produktif ke kapitalisme jasa keuangan dan spekulasi. Kaum kapitalis raksasa dunia tidak lagi mengabdi pada kapital sebagai industrialis yang menciptakan pekerjaan-pekerjaan dan barang-barang yang bernilai-guna, tapi menggelimangkan diri ke dalam spekulasi pasar uang, pencaplokan perusahaan lewat pasar saham, dan aktivitas yang parasitis lainnya.Dapat disarikan bahwa tanah tempat tumbuhnya ideologi neoliberalisme adalah peralihan kapitalisme muda yang segar-bugar menjadi kapitalisme lanjut yang renta dan liar.
Dalam kapitalisme lanjut,
a.Hukum persaingan bebas yang merupakan ruh kapitalisme akhirnya mencapai titik jenuh dan berbalik dengan berkembangnya pasar monopoli (saat ini kapital raksasa dunia hanya dikuasai sekitar 200 korporasi global).
b.Penggabungan kapital industri dan kapital keuangan. Kapitalisme bergerak dari menghasilkan barang (kapital industri) menjadi sekadar menghasilkan kekayaan bagi kapitalisnya sendiri lewat spekulasi saham, obligasi, dan mata uang.
c.Kekuasaan kapitalis bersifat banyak denyut (multitude) atau tidak memusat hanya dalam ekonomi tapi juga politik, budaya, pikiran, dan kehidupan sehari-hari. Tekanan ketundukan tidak lagi berasal dari kekuasaan negara bangsa meski kapitalis sering menggunakannya. Penghuni puncak semua korporasi global tidak peduli kewarganegaraan atau multi-kewarganegaraan.
d.Perkembangan kekuatan produktif (teknologi, ilmu pengetahuan) mencapai tahap yang memungkinkan kapital bergerak cepat dan dalam jumlah sangat besar (Internet dan teknologi informasi).
e.Dunia terpilah berdasarkan pembagian kerja global (dunia pertama pemasok kapital, dunia ketiga pemasok bahan baku dan tenaga kerja) dengan uang (dollar) perantara pertukaran tunggal untuk seluruh dunia.


Indonesia sebagai salah satu negara Dunia Ketiga sudah ditugaskan hanya sebagai penjaga agar “tidak terjadi perang saudara” di negeri-negeri di pusat pusaran kapitalisme. Dalam amatan Sritua Arif, tugas sebagai penjaga krisis kapitalisme di pusat formasi menjadikan kapitalisme Dunia Ketiga terjebak ke dalam bentuk kapitalisme rampok yang mewarisi corak kapitalisme kolonial yang tiada lain adalah anak jadah perkawinan antara kapitalisme murni dengan ragam produksi perupetian yang dihancurkan oleh penjajahan. Ragam produksi pra-kapitalis di Dunia Ketiga ternyata tidak hancur selebur-leburnya. Ruhnya masih gentayangan di antara praktik-praktik ekonomi kapitalisme sehingga penghisapan kapitalisme menjadi lebih ‘brutal’. Kapitalis-kapitalis pribumi yang akrab dengan elit-elit politik dalam sistem pemerintahan otoriter sebenarnya adalah kapitalis palsu yang keuntungannya bertumpu pada subsidi pemerintah. Sementara itu subsidi yang dikucurkan pemerintah berasal dari utang luar negeri yang pembayarannya ditanggung rakyat jelata lewat pemotongan subsidi kebutuhan pokok, pencabutan jaminan sosial, pencabutan subsidi pendidikan, dan sebagainya.
Gelombang perlawanan rakyat (di seluruh dunia) terhadap globalisasi neoliberal (imperialisme) juga semakin meningkat. Perangkat-perangkat globalisasi seperti IMF, Bank Dunia, WTO, Paris Club, AFTA, NAFTA, APEC, G8, dan sebagainya serta paket-paket kebijakan penyesuaian strukturalnya mulai terus menerus mendapat penolakan gerakan sosial internasional. Forum-forum dunia di mana para penggagas globalisasi neoliberal secara rutin bertemu dan membicarakan metode-metode pembagian dunia sesuai kebutuhan mereka, terus mendapatkan serangan-serangan demonstrasi massif.
Peristiwa Seattle 1999 yang menghabisi pertemuan World Economic Forum, pemberontakan Zapatista yang spektakuler pasca perang di Mexico adalah bukti riil bahwa tesis kemenangan neoliberalisme keliru. Gerakan sosial di dunia mulai bangkit kesadarannya terhadap kejahatan globalisasi neoliberal. Perlawananpun terus berlanjut di berbagai forum WTO, G8, APEC, AFTA dan sebagainya. Sejak saat itu slogan “Another World is Possible” begitu melekat dalam kesadaran gerakan sosial internasional. Berbagai forum sosial dunia menjadi ajang kampanye bagi kebutuhan sebuah dunia baru yang lebih baik, adil, maju dan manusiawi.
Dunia lain tersebut saat ini sedang diperjuangkan oleh gerakan sosial dan politik di seluruh dunia dengan berbagai metode dan strateginya. Musuh utamanya juga sudah semakin jelas, yakni kuasa kapitalisme dan turunannya, dan berpotensi menyatukan rakyat yang menjadi korban kejahatannya. Tanpa memandang agama, suku, wilayah dan bahasa, mayoritas rakyat sedunia sudah disatukan oleh penderitaan, kemiskinan, keterbelakangan, ketergantungan yang sama akibat dominasi kekuasaan modal yang merenggut harkat, martabat dan kemerdekaan umat manusia.

Di Indonesia, ilustrasi dapatkan adalah di Kalibening, Salatiga. Di sana masyarakatnya menyelenggarakan sekolah terbuka lewat Serikat Paguyuban Petani Qaryah Thayyibah yang menolak membayar pajak karena negara dianggap gagal mengakomodasi kepentingannya. Dengan mendirikan sekolah, tidak perlu lagi ada anak putus sekolah karena ketergantungan masyarakat terhadap negara ataupun pasar. Komunitas ini juga sedang melebarkan sayap melalui penyediaan kebutuhan masyarakat secara swadaya. Semakin banyaknya komunitas semacam ini akan menyelesaikan permasalahan masyarakat melalui aksi langsung. Selain itu, masyarakat Samin di Blora yang memegang teguh ajaran tetua pendiri desanya, menolak bersekolah di sekolah umum, tidak membuat KTP, dan menghindari keterlibatan dalam perekonomian modern juga layak dicermati sebagai metode perlawanan yang nyata ada dan berkembang di Indonesia. Aksi-aksi individu dan kolektif, dengan jargon antikonsumerisme, gerakan lingkungan dan lain-lain semakin marak dan ini menandakan bahwa ternyata ada secercah harapan menuju tatanan dunia baru, dunia tanpa dominasi tanpa hirarki tanpa penindasan. Semoga !

Posted in

 
WE WILL GO DOWN