Materi dan Pemateri Advanced Training Nasional 2008

1.Pendidikan dalam teori dan praktik. ; Selasa, 27 Mei 2008 jam:08.00-12.00 wita
pembicara:
Prof. Dr. Arismunandar, M.Pd
Ahmad Badruddin (Pendiri SA Qoryah Tayyibah Salatiga)

2.Studi kritis demokrasi. Selasa, 27 Mei 2008; jam: 20.00-23.30 wita
Pembicara:
Mappinawang S.H
Pamuji Slamet

3.Geopolitik dunia dan krisis imperialisme; Rabu, 28 Mei 2008; jam: 08.00-12.00 wita
Pemateri: Irfan Basri

4. Mall dan penghancuran pasar tradisional; Rabu, 28 Mei 2008; jam: 20.00-23.30 wita
Pembicara:

5. Studi ekonomi alternatif: membincang ekonomi kerakyatan dan perspektif ekonomi subsisten; Kamis, 29 mei 2008; jam: 08.00-12.00 wita
Pembicara:
Prof. Dr.H.M Idris Arief, M.S
Syamsul (AGRA)

6. Realitas masyarakat postkolonial dan upaya dekolonisasi kebudayaan; Kamis, 29 mei 2008; jam: 20.00-23.30
Pembicara:
Alwi Rahman
Muh. Kasman

7. Cyberculture dan masa depan gerakan sosial; Jum’at 30 mei 2008; jam: 08.00-12.00

8. BHP (Badan Hukum Pendidikan): rancang bangun strategi, FGD oleh semua peserta aktif

penjelasan tambahan: 1 makalah grand thema dan 5 draf/makalah/ materi (penjelasan tentang draft makalah baca syarat dan perlengkapan peserta).




[Read more]

Posted in

Terminologi poskolonial dipahami sebagai sikap dan gerakan resisten terhadap otoritarianisme kolonialisme militer, politik dan rejim-rejim wacana yang terus menerus dibangun oleh penguasa kolonial. Pemaknaan ini memperlihatkan pengaruh kuat teori (linguistik) post-strukturalisme yang kemudian dielaborasi lebih jauh oleh tiga tokoh kritik poskolonial berpengaruh, yaitu Edward Said, Gayatri Spivak, dan Homi Bhabha. Studi (pendekatan) poskolonial yang diaplikasikan di sini bukan dimaksudkan sebagai studi mengenai bekas-bekas wilayah koloni (ex-colonies), konsep poskolonial maupun penggunaannya difokuskan pada “analisa dan pengujian terhadap cara-cara (trik-trik) manipulatif dalam proses budaya yang menentukan karakteristik suatu politik. Studi poskolonial menempatkan agendanya pada wacana representasi pengungkapan tentang bagaimana peradaban Dunia Ketiga diproduksi (dihasilkan) melalui pengalaman kolonial. Pendekatan poskolonial juga men-tidakstabil-kan wacana mengenai relasi “the West and the Rest” (dunia maju-Barat dan dunia lain-yang tertinggal) yang selama ini diasumsikan melalui kategori biner (contohnya: developed-less developed; civilised-uncivilised; dan lain-lain)

Negara Dunia Ketiga sebagai kesatuan poskolonial memiliki luka atau trauma penjajahan yang terus ikut serta dalam setiap proses pembentukan jati diri kebangsaan. Menurut Leela Gandhi, negara-bangsa poskolonial cenderung berusaha lepas dari luka tersebut dengan mengupayakan sebentuk diskontinuitas terhadap masa lalu yang menyakitkan itu. Hal ini menyuburkan tumbuhnya amnesia sejarah yang menjadikan masyarakat tercerabut dan tidak pernah bisa kembali pada identitasnya semula, yakni identitas sebelum mengalami penjajahan. Sedemikian besar pengaruh penjajahan, sehingga mempengaruhi pola pikir, pola penghayatan hidup serta pola perilaku masyarakat poskolonial. Negara-bangsa yang terbentuk pun seolah mengalami krisis identitas atau krisis percaya diri, tidak memiliki pegangan yang jelas sehingga mudah digoyahkan dan diombang-ambingkan oleh relasi ketergantungan.

Ketergantungan sebagai konsekuensi logis dari efek lanjutan kolonialisme ini kita temui di dalam globalisasi. Globalisasi juga melahirkan formasi identitas politik yang karakteristiknya dapat kita kenali melalui praktek dan struktur “dominasi serta resistensi”.

Arturo Escobar menggambarkan bahwasanya identitas Dunia Ketiga dibangun dibawah bayang-bayang hegemoni Dunia Pertama. Khususnya ketika masyarakat di Dunia Ketiga memproyeksikan peradaban mereka melalui pencapaian-pencapaian material. Ia melanjutkan kritik-nya dengan melihat isu “kemiskinan” sebagai proyek utama di dalam agenda pembangunan di Dunia Ketiga yang indikatornya memperoleh kategori pembeda dari pencapaian material Dunia Pertama, dimana intervensi yang dilakukan oleh Dunia Pertama (misalnya oleh Bank Dunia―World Bank) mengabaikan aspek-aspek perkembangan kultural yang berlangsung di Dunia Ketiga. Dalam konteks tersebut, bukan hanya “negara” yang ditransformasikan ke dalam obyek pembangunan oleh kekuatan representasi wacana pembangunan, melainkan juga orang―manusia―nya. Meski demikian, pendekatan poskolonial tidak hanya semata-mata menilai efek negatif yang dilahirkan oleh modernitas global, tetapi juga melihat kemungkinan-kemungkinan baru bagi masyarakat di Dunia Ketiga untuk menegosiasikan posisi resistensi mereka di dalam struktur modernitas itu sendiri. Upaya pencarian semacam ini, misalnya, dipelopori oleh Vandana Shiva yang menggagas penemuan kembali nilai-nilai lokal yang menandangi efek negatif dari proyek modernitas Barat.


Meskipun upaya yang dirintis oleh Vandana Shiva pada awalnya hanya merupakan gerakan yang bersifat lokal, akan tetapi globalisasi yang memungkinkan suatu gerakan ditransformasikan melalui diseminasi wacana dan difasilitasi oleh teknologi telah membuat gerakan alternatif semacam itu kini mulai melintasi batas-batas nasional (transnasional). Dari sini ungkapan Michael Keith dan Steve Pile (1993), menjadi relevan, ia menyarankan tiga lokasi bagi batasan-batasan dalam “politik identitas baru (postmodern)”, yakni: (1) lokasi bagi perjuangan (location of struggle); (2) komunitas resistensi (communities of resistance); dan (3) ruang-gerak politik (political spaces). Lokasi bagi perjuangan (location of struggle) merupakan suatu ruang dimana individu memasuki politik. Ruang ini dapat bersifat riil (real space), imajiner (imaginary space), atau simbolik (symbolic space). Komunitas resistensi memerlukan suatu landasan (baik yang bersifat riil, imajiner, ataupun simbolik) yang memungkinkan tumbuhnya formasi aliansi politik dan pemberdayaan aliansi dalam kelompok-kelompok marginal. Oleh karena itu komunitas resistensi memperjuangkan ruang gerak bagi politik identitas sebagai upaya penciptaan alternatif-alternatif kemungkinan-kemungkinan politis (the alternatives of political possibilities).

Lewat materi ini peserta diharapkan dapat merumuskan inisiasi gerak dalam ranah kebudayaan baik secara personal maupun kolektif. Semoga

[Read more]

Posted in Label:

Kota sebagai penanda peradaban dimulai dari jalur perdagangan yang disinggahi oleh saudagar dari berbagai negeri, metropolitan Indonesia saat ini berawal dari sana menjelma menjadi sosok raksasa yang menakutkan. Alun-alun kota sebagai penanda kota yang berfungsi sebagai mediasi perkembagan demokrasi, tapi itu dulu.Ketika era mal muncul di era 90-an di kota-kota besar Indonesia, kegairahan massa beralih ke mall dan memalingkan alun-alun sebagai fungsi public yang menyangga demokrasi yang sehat karena berfungsi sebagai public share. Mal tidak sekedar sejumlah petakan-petakan outlet jual beli yang dipersewakan tetapi sekaligus menawarkan sihir yang luar biasa, citra mal sebagai pusat belanja yang tren tidaklah jatuh dari langit.

Sebelum era mal, kita mengenal pusat perbelanjaan yang berskala menengah atau pusat pertokoaan tapi sebagian besar aktivitas ekonomi belum merebak menjadi sihir consumtifisme. Mal menawarkan berbagai kemudahan yang dapat dinikmati oleh konsumen dimana tersedia berbagai kebutuhan dalam satu bangunan mewah mentrend, mulai dari urusan perut, cuci mata hingga urusan perawatan tubuhuh bahkan menyediakan area permainan anak/keluarga, singkatnya segala urusan hidup anda semuanya ada disana. Orang-orang yang datang di mal bukanlah kelas sandal jepit yang terbelit kesusahan hidup, meskipun ada hanya datang menyiksa hasrat atau sebagai karyawan.

Masyarakat pun menganggap mal sebagai simbol kemoderenan dan kamajuan kota yang akan mempermudah hidupnya dan dapat membanggakanya sebagai warga kota. Dalam poling harian Fajar beberapa bulan lalu mengenai pembangunan mal bawa tanah karebosi, dimana sebagian besar komentar masyarakat mendukung dengan alasan dangkal, mereka menganggap mal bawah tanah sebagai ikon kota seperti Blok M Jakarta, kesesatan berpikir masyarakat semakin sempurna. Meski mal telah memberi kemudahan berbelanja dan pendapata pada kas Negara tetapi menghancurkan prekonomian pasar-pasar tradisional dimana prekonomian dikuasai oleh segelintir orang bahkan dapat berimplikasi pada hancurnya ekonomi subsistem yang dikelola mandiri oleh rakyat

Ada beberapa mal dan pusat perbelanjaan besar atau ritel yang menghacurkan pasar-pasar tradisional di negeri ini, berbondong-bondongnya konsumen menyerbu mal menyebabkan berkurangnya pelanggan pasar tradisional yang memiliki sejarah panjang. Kemudahan berbelanja dan ditunjang fasilitas yang nyaman membuat para konsumen ke mal atau pasar ritel, perbandingan antara mal dan pasar tradisional secara pisik memang lebih ‘kren’ mal tapi ada sesuatu yang hilang dalam transaksi mal. Konsumen hanya sekumpulan manusia diam yang hanya bisa bertatap-tatapan tanpa ada komat-kamit, meskipun berbicara hanya sekedar basa-basi atau bertanya letak barang, seni tawar-menawar hilang digantikan tempelen harga, konsumen bukanlah keluarga besar bagi para penjual tapi sekumpulan capital yang penghasil laba, bahkan hak konsumen terkadang diabaikan


Antonio Gramschi mengigatkan, hegemoni berjalan sukses ketika kelas tertindas terobsesi dengan ideology kelas berkuasa, begitulah kiranya pandangan masyarakat yang menganggap mal sebagai penanda kemajuan dan modernitas kota metro, sekali lagi dan sekali lagi mal tak ada urusanya dengan kemajuan taraf peradaban karena disanalah kita temukan manusia modern paling nyata. Modernitas tak ada sangkut pautnya dengan kehausan berbelanja, justru modernitas menempatkan akal untuk berpikir sehat. Mitos kemajuan ini digunakan alat untuk meraup keuntungan besar yang berujung hancurnya pasar-pasar tradisional, di pasar bukan sekedar mencari untung juga lahir kebersamaan dan kebudayaan sebuah masyarakat. Tahukah anda berapa karyawan pasar tradisional yang terpaksa di PHK karena sepinya pengunjung?. Saat ini ada ratusan ribu orang menggantungkan hidup mereka disana, masihkah anada senang berbelanja di mal???

[Read more]

Posted in Label:

Sejarah kini dan akan datang adalah sejarah perjuangan kelas, frase yang sering disebutkan Marx dalam tulisanya, sebuah ungkapan yang menggambarkan kehidupan manusia dikuasai segelintir orang serakah menaklukan milyaran manusia yang dilanda histeria. Dunia hadir tak seindah gambaran Tuhan bahwa manusia sama di hadapan Tuhan, dunia diperhadapkan pada pertarungan kelas yang melahirkan kontradiksi-kontradiksi yang semakin meruncing, contohnya resisi US dan sekutunya kian memuncak dan imperialisme akan menggali kuburnya.

Mulanya berasal dari gilda-gilda atau kongsi dagang yang terbatas melintasi perdagangan di sentaro negeri, perebutan pasar-pasar dan pusat perdagangan hingga perebutan rempa-rempa di dunia Timur. Disinilah babak baru embrio kapitaliseme hingga meluas dalam bentuk kolonialisasi Asia, Afrika dan Amerika paska penemuan Kolumbus. Kolonialisme awalnya tidak dilihat sebagai sebuah tindakan kebiadaban dan pelanggaran terhadap hak asai manusia, oleh masyarakat Eropa dianggapnya sebagai aksi pemanusian bangsa Barat yang memiliki derajat tinggi dimata Tuhan atas dunia Timur yang mistis, emosional, unik, eskotis, terbelakang dan bahkan mensejajarkanya dengan fauna seperti bangsa Aborigin. Bahkan masih dinggap founa pada era 60-an, semua streotipe itu dibangun lewat pengetahuan dan kebudayaan untuk mempertajam dominasi ekonomi dan kedaulatan negeri-negeri jajahan (Edward Said, Orientalisme:1970)

Dunia kini telah terbagi dalam dua bagian yang tidak hanya dipisahkan secara geografis tapi ideologis seperti Timur-Bara, Utara-Selatan dalam perspektif ekonomi. Amerika dan sekutu dekatnya yang sebagian besar Negara dunia maju memimpin dominasi Negara berkembang, pasar ekonomi pun dibagi mirip pembagian kolonialisme masa lalu. Timur tengah objek seksi untuk disandra--dalam bahasa Riza Sihabudi—oleh para imperialis untuk mempertahankan ladang minyak, karena dari sini nadi imperialisme untuk melanjutkan dominasi dalam satu sisitem besar bernama KPITALISME, tanpa minyak imperialis menemukan ajalnya.

Lembaga-lembaga keuangan international dan korporasi TNCs adalah penyokong imperialisme yang lahir dari rahim sah kapitalisme yang terus berkeliaran mencari pasar-pasar taklukan baru karena di Negara imperialis maju telah terjadi over produksi sehingga mengharuskanya melakukan ekspor capital kenegara-negara berkembang. Ekspor capital dapat beruwujud investasi, bantuan keuangan alias utang, hibah dan mendanai berbagai proyek-proyek liberalisasi dan berbagai isu-isu yang dapat mencegah penentagan tajam terhadap system keserkahan global lewat tangan-tangan LSM

Tapi jangan dikira imperlisme akan selalu solid tanpa kendala, krisis internal telah muncul kepermukaan, watak asli imperialisme terlah terbuka. Penyerangan Afganistan dan Irak sebagai bukti Amerika dan sekutu terdekatnya melakukan agresi kebiadabanya menaklukan Negara berdaulat yang bertentangan dengan prinsip HAM yang sering dielukkan, kini imperialisme telah memperlihatkan kebiadabanya secara terbuka mirip nenek moyang merekapa pada abad ke-17. Invasi ini bukanlah memburu teroris atau senjata kimia tapi sejatinya memburu minyak/MIGAS di kedua Negara itu yang menyimpan jutaan barel, buktinya invasi tersebut didukung oleh enam korporasi besar yang tentu saja mereka akan menerima berbagai proyek rekonstruksi pasca perang dan eksplorasi cadangan minyak AS kedepan, ketika Negara dunia maju berbicara tentang HAM, pluralisme dan demokrasi maka itu adalah memburu MIGAS. Beberapa Negara imprealis lainya juga menentang invasi tersebut tentu bukan alasan kemanusian tetapi tidak lebih upaya perebutan ladang-ladang minyak karena pada pemerintahan Saddam Prancis dan beberapa Negara telah menjalin kerjasama dengan rezim Saddam.


Disisi lain yang menggembirakan munculnya kekuatan alternatif dunia yang tak dapat disepelekan membuat Amerika kerepotan, apalagi menguatnya poros setan dalam tuduhan Amerika seperti Iran, Korut dan Kuba cukup membuat berang Negara-negara US dan sekutu Eropanya. melakukan agresi tentu bukan perkara gampang karena disamping membutuhkan dana juga persoalan Afgan dan Irak kian tak memiliki ujung penyelesaian justru kekacauan kian meluas dan penentangan pendudukan kian menguat baik di luar maupun dalam negeri US dan Negara yang mendukungnya. Menguatnya dominasi Cina di pentas politik ekonomia dunia membuat repot berbagai Negara yang selama ini menikmati pasar tanpa saingan, disisi lain juga Cina tak dapat diremehkan dari sisi militer yang hampir mengimbangi kekuatan US. India pula tampil memukau dengan kemajuan ekonominya dan disusul Negara sosialis Vietnam menjadi kekuatan baru 10 tahun mendatang. Negara-negara dunia ketiga baik di Asia dan Afrika telah bangkit dan sedikit sadar bosan menjadi kaki tangan imperialis. Bagaimana dengan Indonesia??, SBY-JK masih menjadi kaki-tangan imperialis tapi satu hal yang menggembirakan gerakan rakyat mulai bersemi di berbagai sektor tani, buruh, nelayan, miskin kota dan kekuatan kelas menegah yang kritis

Amerika latin juga tampil memukau dunia dengan munculnya blok sosialis baru yang terus menggelinding mirip bola salju, negara-negara ini bukan direbut lewat kekuatan gerilya kaum pembrontak pada era penaklukan fidel castro dan Che pada kuba tapi lewat jalur parlementarian. Kemenagan sosialis baru di Amerika latin bukanlah perjuangan membalikkan telapak tangan, tidak diraih dalam sekejap tapi tak terlepas doktrin teologi pembebasan gereja katolik, dari reformasi teologi agama. Kemenangan perjuangan rakyat di sentaro negeri akan mempercepat runtuhnya imperialisme.


[Read more]

Posted in Label:

 
WE WILL GO DOWN